December 22, 2007

Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu

Sabtu, 1 Desember 2007 Pukul 3 dinihari kami sudah berkumpul di Pura Segara dan bersiap diri untuk berangkat ke Indramayu didampingi Pinandita yang kami kagumi Romo Pandita Puja Brata Sejati. Kali ini agak lain dari biasa, Romo Jati tidak mengenakan pakaian seperti layaknya seorang Pinandita, Beliau mengenakan baju batik dengan celana panjang berwarna hitam yang dipadukan dengan slayer yang juga bermotif batik yang siap dijadikan "udeng" setiap saat diinginkan.

Perjalanan kami lalui dengan canda dan tawa yang kadang diselingi petuah-petuah bijak oleh Romo Jati. Sekitar jam 7.03 wib. kami tiba di Losarang-Indramayu dan atas kesepakatan bersama kamipun singgah di warung pinggir jalan untuk sekedar mengganjal perut. Setelahnya kami kembali melanjutkan perjalanan.

Senyum tulus hiasi wajah komunitas suku dayak bumi segandu saat sambut kedatangan kami. Akrab persaudaraan pun segera terjalin lewat canda dan obrolan ringan. Filsafat-filsafat spiritualpun kerap terlontar selingi obrolan kami.

Sungguh berbeda sekali situasi disini dengan apa yang aku dengar di luaran sana, tentang mereka yang menyatakan Komunitas ini sebagai yang sesat dan gila. Hmmm..., inikah yang dimaksud oleh petuah leluhur kita sebagai WOLAK WALIK ING JAMAN, yang benar disalahkan yang salah dibenarkan, agamawan dianggap sesat sementara yang sesat malah dianggap sebagai yang paling suci.

Tak terasa, hari telah beranjak siang, santapanpun dihidangkan...., hmm..., menu vegetarian, Pak Takmat Diningrat selaku kepala suku komunitas ini langsung turun tangan melayani kami. Sungguh suatu sikap rendah hati yang patut diteladani. Seorang kepala suku yang di "dewa-kan" pengikutnya masih mau melayani kami yang bukan siapa-siapa. Semula kami mengira, mungkin karena Romo Jati ada diantara kami, namun menurut beberapa pengikutnya, Pak Tua (begitu sebutan Pak Takmat bagi pengikutnya) selalu bersikap seperti itu, bahkan bila ada orang gila sekalipun yang melintas di gerbang padepokannya akan dibimbing kedalam untuk makan bersama.

Hari beranjak senja, kamipun pamit setelah sebelumnya berphoto bersama sekedar untuk kenangan. Pagar betis segera dibentuk tanpa komando, seolah membuka jalur untuk laju kendaraan kami. Luar biasa mirip seperti prajurit-prajurit dijaman kerajaan dulu.

Suasana di Padeokan Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu

Saat perjalanan kembali ke Jakarta, kami sempatkan untuk singgah di Petilasan di kawasan Losarang. Meski hanya berupa gundukan bebatuan (bebatuannya mirip dengan yang ada di Candi Jiwa-Karawang), namun nuansa magisnya amat terasa. Bahkan beberapa diantara kami sempat menangis dan mengucurkan air mata.

Suasana di Petilasan - Losarang


Setelah sembahyang dan meditasi, kamipun kembali melanjutkan perjalanan. Dan kira-kira jam 21.05 wib. kamipun tiba kembali di Pura Segara.

By : Den Mas Bagus Dhika



















































December 15, 2007

Mendak Tirta

Jumat 23 November 2007 sekitar pukul 20.30 wib. kami berangkat dari Pura Segara menuju Candi Jiwa untuk "Mendak Tirta" berkenaan dengan odalan di Pura Segara. Suasana hening dan damai meraja dalam jiwa kala kami tiba dilokasi pelataran Candi, kidung pujianpun mengalun hiasi suasana hening kala itu.

Romo Jati, yang memandu jalan ritual mulai menguncarkan mantram-mantram. Suasana magispun semakin terasa, keheningan dan kedamaian semakin merasuk kedalam jiwa.

Selesai ritual kamipun segera menuju sumber air yang berjarak sekitar 200 meter dari pelataran utama Candi Jiwa.









Suasana di pelataran Utama dan Sumber Air Candi Jiwa




By : Den Mas Bagus Dhika