November 24, 2009

Ksatria


Seorang satria tanpa kuda berlari,
telusuri jalan terjal berliku nan terjal dan penuh duri
demi satu asa, istana impian hati
Napas mulai memburu, terengah..
namun ia tak jua jengah, terlebih putus asa
meski rasa lelah tak terbantah
Sesaat ia memperlambat langkahnya
sambil menanggalkan pakaian perangnya,
langkahnya lebih ringan sekarang
beban pakaian itu demikian berat,
hingga menghambat gerak langkahnya
Seorang Ksatria tanpa kuda dan pakaian perang berlari,
telusuri jalan berliku nan terjal dan penuh duri
demi satu asa, istana impian hati
Peluh telah banjiri sekujur tubuh,
ragapun mulai tampak lusuh,
namun tak jua muncul keluh,
ia tetap teguh
pancangkan tekad dengan kukuh
Kembali ia memperlambat langkah,
sambil menanggalkan pedang pusakanya,
langkahnya semakin ringan
Seorang satria tanpa kuda, pakaian perang dan pedang pusaka
tak lagi berlari,
ia berjalan...
telusuri jalan berliku nan terjal dan penuh duri,
demi satu asa, istana impian hati
Ia berjalan tanpa ambisi,
Ia berjalan bukan lantaran perintah sang raja,
Ia berjalan karena memang harus berjalan,
tak penting lagi baginya, akankah ia tiba di istana impian itu
atau justru mati sebelum tiba
yang ia tahu.., ia harus tetap berjalan.



Jakarta, 30 Oktober 2009

November 15, 2009

Tembang Panca Panugrahan

Tiga hari sudah aku berbaring nyaris tanpa daya
Nyeri.., pedih.., panas.. membaur jadi satu
Sudah kuduga memang sejak beberapa hari lalu
Bahwa raga usang ini akan tergolek
Namun sama sekali tak ku sangka bahwa penyakit yang mendera
Justru penyakit menjijikan yang sangat menular

Oh BUNDA SEMESTA..,
Dalam setian EranG kesakitanku
Aku masih berharap ada makna yang dapat kupetik dari semua ini
Tanya demi Tanya kulontarkan bagi diri
Agar layak kudendangkan kidung syukur
Dari setiap rintihanku
Akhirnya kutemukan jawabnya
Dan kidung syukurpun memang harus ku lantunkan
Lantaran apa yang semula kuanggap derita ini
Sesungguhnyalah sebuah AnuGeRah yang luar biasa
Dan aku mendapat keuntungan berlipat darinya Diantaranya,



  • Aku diijinkan istirahat oleh atasanku sampai sembuh, meski bukan karena simpati semata, melainkan lebih karena rasa jijik dan takut tertular.
  • Tak perlu menambah daftar tumpukan hutang budi. Karena rekan2 kerja tak perlu repot-repot urunan mengumpulkan dana bantuan untuk biaya pengobatan, lantaran mereka tahu aku gak suka ke DOKTER jadi tak perlu biaya pengobatan.
  • Aku tak perlu berjuang keras lagi tuk menghindar dari godaan-godaan nakal gadis-gadis cantik. Lantaran dalam kondisi seperti ini pasti gak ada yang bakal menggoda, Ngeledek mungkin, hahaha….
  • Aku semakin menyadari kasih istri yang begitu luar biasa, terbukti dari caranya merawatku. Plus kedigjayaan putra pertama kami, yang melalui tatapan dan ‘magic words’ [ aa.., mmaa.., eepp.. ooo..] nya mampu mengobati setiap luka pada poriku.
  • Tak kalah kasih Ibuku, tak seperti yang lain yang tak datang membesuk lantaran jijik dan takut tertular, Ibuku justru menangis saat kularang untuk datang. Ia tetap datang dan memberikan berkahnya untukku tanpa rasa jijik. Sembah sujudku bagimu IBU. Engkaulah perwujudan BUNDA SEMESTA bagiku.

  • OH SANG MAHA KASIH..,
    Terima kasih… atas semua anugerah ini…
    ===========
    Den Mas Bagus Dhika
    Sabtu dini hari
    Akhir Okt 2009

    August 28, 2009

    DIBALIK KEINDAHAN PURA GEGER


    Di tengah kepungan riuh-pikuk bisnis pelancongan kawasan Nusa Dua dan sekitarnya, Pura Geger Dalem Pamutih berdiri kukuh, menebarkan pesona alami dari pesisir terselatan Bali. Debur ombak Samudera Indonesia tiada bosan menghias laut di kawasan Pantai Geger, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Gulungan ombak itu sesekali menerjang tebing batu karang, di lain waktu berserakan sebelum sampai di bibir pantai.Hari bertambah senja, suasana pantai di ujung selatan Bali ini semakin memesona seiring kemunculan bulan Purnama di ufuk timur. Perlahan bulan bulat sempurna yang memancarkan sinar putih nan lembut itu meninggi, terus meninggi menyinari biru lautan. Di sudut lain, para petani bulung (rumput laut) yang sedari pagi menjemur hasil panennya, mulai sibuk mengumpulkan rumput laut. Mereka tentu tak ingin rumput laut yang sudah mulai mengering itu kembali membusuk hanya karena terlambat memindahkan ke tempat teduh. “Kalau kena embun malam, rumput laut kembali basah dan bisa menurunkan mutu,” urai Nyoman Suriket, petani rumput laut dari Desa Geger. Tak jauh dari lokasi para petani rumput laut itu, tepatnya pada satu pura di atas onggokan teguh batu karang, puluhan orang tiada kalah sibuk. Orang-orang berbusana adat Bali tersebut silih berganti keluar masuk tempat suci. “Saban Puranama-Tilem orang-orang berdatangan ke pura sejak pagi,” tutur warga Desa Geger, Pan Mira. Pura Geger Dalem Pamutih, begitulah nama tempat suci berpagar tembok pasir hitam tersebut. Saat itu, bertepatan dengan Purnama Karo (Purnama pada bulan kedua dalam kalender Bali). Ini memang merupakan hari yang banyak dimanfaatkan orang Bali untuk datang (tangkil) ke tempat suci ini. Mereka tak terbatas warga sekitar kawasan Nusa Dua. Banyak pula pamedek luar Kelurahan Bualu, seperti dari Badung Utara, Denpasar, Tabanan, Gianyar, bahkan juga dari luar Bali. “Kepadatan mulai terasa,” kata Nyoman Repot, Pamangku Pura Geger Dalem Pamutih, “ketika dibuka akses jalan menuju ke pura, sekitar tahun 1990-an.” Pura Geger kini memang menjadi ‘incaran’ masyarakat dari berbagai lapisan. Ketika isu bencana alam merebak dan meresahkan relung sanubari penduduk Indonesia, termasuk Bali, Pemerintah Provinsi Bali juga menggelar upacara pakelem sebagai sarana memohon keselamatan di kawasan tempat suci ini. Pakelem itu digelar bertepatan dengan Tilem Kasada (bulan ke-12), bulan gelap terakhir di penghujung tahun dalam sistem kalender Bali, Minggu Pon wuku Tambir, 25 Juni 2006. Tengah malam, usai digelar upacara pakelem itu, Bali sempat digoyang gempa kecil—menyusul guncangan dahsyat yang menelan ribuan korban jiwa manusia maupun material, sebulan sebelumnya di Yogyakarta. Tak urung banyak yang mengira-ngira, andai pakelem itu telat dilabuhkan ke tengah samudera, bukan mustahil Bali bernasib lebih parah ketimbang Yogya dan sekitarnya. Di kalangan internasional memang ada yang suka mengutak-atik deretan angka enam sebagai isyarat musibah dahsyat. Kebetulan sehari usai pakelem tersebut digelar kalender Gregorian atau Masehi yang berlaku internasional itu memang menunjukkan deretan angka enam: 26-06-2006. “Saya dapat bisikan gaib Ida Batara, jika pakelem telat dilakukan, Bali bisa habis dilanda bencana pukul 06.00 tanggal 26 bulan 6 tahun 2006,” tutur Men Bukit, wanita sederhana yang kerap ngayah di Pura Geger. Banyak penekun spiritual layaknya Men Bukit: meyakini posisi Pura Geger Dalem Pamutih secara niskala begitu sentral sebagai basis pertahanan ujung selatan Bali. Pura di kaki Pulau Bali ini disebut-sebut satu poros dengan Pura Agung Besakih di lambung Gunung Agung di sisi utara dan Pura Panataran Ped, Nusa Penida, di sisi timurnya. Secara kasat mata Pura Geger ini memang membentuk segitiga tegak lurus dengan puncak Gunung Agung dan daratan Pulau Nusa Penida. Toh, tak mudah menemukan rujukan data otentik formal cikal bakal pendirian Pura Geger Dalem Pamutih ini. Warga sekitar mengira-ngira pura ini semula dibangun masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Adalah lazim di Bali kelompok masyarakat yang menggeluti profesi utama tak lupa pula menstanakan Tuhan dalam berbagai manifestasi. Dari alur pemikiran demikian akhirnya di Bali ada pura swagina, tempat pemujaan yang berkaitan dengan profesi. Pura Rambut Siwi atau Bedugul, misalnya, dikelola para petani buat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewi Uma atau Dewi Sri; Pura Melanting bagi para pedagang memuja Dewi Laksmi atau Rambut Sadana; lalu ada Pura Segara bagi para nelayan memuja Dewa Baruna atau Rudra, kekuatan Tuhan sebagai penguasa samudera. Tujuan pendirian tempat suci jenis ini jelas dalam kaitan mohon kepada manifestasi Tuhan, agar dalam menjalankan kegiatan diberikan keselamatan, berfungsi sebagai tempat memohon kesuburan, menggelar nangluk marana, sekaligus mengupayakan pamahayu jagat. Demikian halnya dengan keberadaan Pura Geger yang dari semula difungsikan sebagai tempat mohon kerahayuan. Itu terbukti dari adanya satu bangunan suci (palinggih) yang berada di sisi timur, sebagai stana Ida Batara Dalem Pamutih atau Ida Batara Dalem Segara. Gedong tersebut, pada pemugaran sekitar tahun 1990-an, diganti dengan meru tumpang tiga. Sebutan Dalem Pamutih di sini cukup mengasosiasikan ingatan kepada sifat Tuhan Yang Mahasuci, Mahabenar secara tradisi disimbolikkan dengan warna putih, tiada ternoda. Siwa atau Iswara sebagai kekuatan terpuncak juga kerap diperlambangkan berwarna putih bersih, tiada bernoda. Selain itu keberadaan pura nan asri ini juga kerap dikait-kaitkan dengan kisah perjalanan Danghyang Nirartha, maharsi dari Jawa Timur, yang bermigrasi ke Bali sekitar abad 15-16. Seperti ditulis dalam beberapa buku yang menjelaskan tentang pura berstatus dang kahyangan di Bali, sepeninggal dari tanah Jawa, Mpu Nirartha melakukan perjalanan suci ke sekeliling pesisir Pulau Bali sampai ke Sumbawa, sebelum akhirnya kembali lagi ke Bali. Pascabalik ke Bali, sebelum ngaluhur (moksa) di Pura Uluwatu, pada ujung barat laut kaki pulau alit ini, sang rohaniwan menyucikan diri, mengheningkan pikiran lewat jalan samadi, beryoga di atas batu karang. “Saya sempat membaca kisah itu dari buku,” tunjuk Mangku Repot. Kakawin Anyang Nirartha yang merekam kisah perjalanan dan perenungan pendeta yang juga pencipta karya susastra kakawin di seputar kaki Pulau Bali ini memang sempat melukiskan jelas: Mpu Nirartha kerap samadi di bawah pohon sawo kecik, dekat pohon kalikum (kem). Sebagai tempat peristirahatan, maharsi ini memilih sebuah gua selebar 20 meter dengan kedalaman 10 meter, di belahan timur, di bawah pura. Setiap hendak menggelar samadi, sang pendeta biasanya mandi dengan air yang ditaburi bunga gadung dan pudak agar berbau wangi. “Sebagai bukti kehadiran Danghyang Nirartha ke tempat ini, sampai sekarang di mandala tengah Pura Geger masih tumbuh subur pohon sawo kecik. Adapun pohon kem ada di mandala utama,” papar Mangku Repot. Dalam sejumlah kakawin yang digubah di kawasan pantai selatan Bali, Mpu Nirartha memang begitu mendalam terpesona oleh keindahan pesisir Bali berpasir putih ini. Panorama alam berupa pohon sawo kecik, deburan ombak berbuih putih, kokokan ayam hutan, lekuk-liku kelokan teluk, onggokan batu karang berketinggian curam, hingga bongkahan-bongkahan daratan pulau-pulau alit kerap dibayangkan dan dimaknai sebagai ritus diri sang pendeta manakala melakukan pemujaan dengan samadi kehadapan Hyang Mahasuci. Purohita Kerajaan Gelgel ini memang kerap disebut-sebut berjalan menyusuri pesisir Bali, dari ujung barat ke selatan, sampai ke timur, dan juga utara. Dalam perjalanannya sang pendeta gemar menyinggahi pura. Beberapa di antaranya yang kini termasuk wilayah Kabupaten Badung, antara lain: Pura Uluwatu, Goa Gong, Batu Pageh, Bukit Payung, dan Goa Batu Matandal. Kemudian Pura Petitenget di Kuta, Pura Sada di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, serta Pura Pucak Tedung di Desa Sulangai, Kecamatan Petang. “Pura Geger tak pernah ada disebutkan secara eksplisit dalam berbagai sumber sebagai persinggahan Danghyang Nirartha. Palinggih stana Danghyang Nirartha juga tak ada khusus di Pura Geger,” urai Ketua Parisada Kabupaten Badung, Nyoman Sukada. Sesuai Purana Pura Ulun Suwi Jimbaran yang sempat dibaca Sukada, keberadaan Pura Geger justru bertalian erat dengan kisah perjalanan Dalem Petak Jingga, seorang petinggi yang hengkang dari Kerajaan Gelgel, Klungkung, sekitar tahun 1652 Isaka, ke Bali selatan. Pengungsian Dalem Petak Jingga yang diiringi ratusan pengikut tersebut dipicu oleh persengketaan dengan Ida Dalem Dimade yang menjadi Raja Gelgel saat itu. Sampai di tepian Pantai Geger ditemukan satu tempat suci dan di tempat inilah Petak Jingga beryoga. Dalam samadinya dia mendapat anugerah, kelak akan menjadi raja besar. Sepeninggal dari Geger, Dalem Petak Jingga melanjutkan lagi perjalanan ke arah selatan dan bertemu dengan alas jimbar (hutan sangat luas). Di hutan lebat inilah Dalem Petak Jingga serta pengiringnya berdiam. Lokasi ini kelak dikenal dengan nama Jimbaran. Tapi, siapa Dalem Petak Jingga? Teks Purana Pura Ulun Suwi tak ada mengungkap lebih benderang. Betapapun sumber-sumber ilmiah formal tak mudah dirunut, toh Pura Geger tetap diposisikan sebagai pura penting di pesisir selatan Bali. Semakin hari pura yang puncak upacara (piodalan)-nya jatuh pada Purnama Kenem panglong apisan (sehari setelah Purnama Kenem) ini tetap saja semakin dibanjiri pamedek. “Piodalan di Pura Geger ini,” tambah Jero Mangku Sania, “berlangsung tiga hari. Penanggung jawab utamanya adalah warga dua banjar adat, yakni Banjar Geger dan Sawangan.” Deretan bangunan suci yang ada tidak begitu banyak. Di sisi timur ada padmasana sebagai stana Hyang Mahatunggal, Hyang Widhi, lengkap dengan tatahan Badawangnala (simbolik api magma Bumi) dan belitan naga Anantabhoga (simbolik lapisan tanah) bersama Naga Basuki (simbolik lapisan air). Di selatan padmasana berdiri meru tumpang (tingkat) tiga sebagai bangunan suci pusat, stana Ida Batara Dalem Pamutih atau Ida Batara Dalem Segara. Sebelahnya lagi ada Gedong Pasadegan. Paling ujung selatan terdapat palinggih Tugu Penyarikan sebagai tempat menyembah Ida Dalem Gunung Raung yang oleh warga awam setempat diyakini sebagai pangabih (penjaga) Danghyang Nirartha. Pada sisi utara, di sebelah barat padmasana, juga ada meru tumpang tiga sebagai stana Sanak Dalem Satria. “Kehadiran meru tumpang tiga ini berkaitan erat dengan perjalanan salah seorang keluarga Raja Badung,” ungkap Mangku Sania. Berdasarkan cerita tetua yang sempat didengar Mangku Sania, dulu, konon ada seorang keluarga Raja Badung (kini Puri Satria, Denpasar) pernah bersalah di kerajaan. Merasa bersalah, orang ini lari meninggalkan kerajaan menuju Bali selatan hingga sampai di Pura Geger. Di Geger yang bersangkutan sembahyang, mohon agar diberikan keselamatan. Dia juga berjanji (masasangi) akan membangun palinggih. Setelah terhindar dari malapetaka, kaul itu pun ditebus dengan mendirikan meru tumpang tiga. “Tiap piodalan ada saja warga Puri Satria tangkil ke pura ini,” terang Sania. Di mandala tengah yang lapang, pohon sawo kecik tua nan rindang berdiri kukuh, mengepakkan daun-daunnya yang hijau. Tampak burung-burung bercengkerama tenang di sini. Di bawah pohon sawo kecik ini terdapat tugu, tempat memuja Ida Batara Ratu Gde Panataran Ped, Nusa Penida. Di Pura Geger, keindahan dan ketenangan itu terasa begitu sempurna, memang, di bawah buaian sinar rembulan purnama. Dari titik ketinggian ini, Nusa Dua, Jimbaran, hingga Kuta, bahkan Denpasar yang riuh dan pikuk oleh gemerlap lampu listrik dan bisnis pelancongan pun tampak dekat, nyata, nun di kerendahan sana—lalu mengusik, begitu kontras. Kerap Digedor Tengah MalamKapan waktu paling sibuk dan melelahkan bagi para pamangku Pura Geger? Ada dua jawaban. Pertama, ketika berlangsung piodalan, Purnama Kenem. Waktu itu, jan banggul Ida Batara Pura Geger ini jelas harus berlama-lama di tempat suci ini. Mereka mesti meladeni warga yang datang dari seantero jagat Bali yang hendak menghaturkan bakti. Kehadiran pamedek yang tak menentu—terkadang pagi-pagi, banyak pula tangkil malam hari menjadikan para pamangku harus siaga setiap saat. Apalagi semenjak dibuka langsung akses jalan ke pura, orang dari luar Nusa Dua bertambah banyak hadir. ”Kami kurang enak hati melihat orang yang sudah datang dari jauh, ternyata sampai di pura tak ada pamangku,” Nyoman Repot, Pamangku Pura Geger Dalem Pamutih, berdalih. Itu sebab, selama piodalan berlangsung antar-pamangku bergilir waktu bertugas. Satu lagi hari-hari pamangku Pura Geger harus siap-siap menanti dan begadang mengantarkan bakti umat adalah menjelang hajatan besar politik, seperti pemilu dan pemilihan kepala daerah. Tempat suci ini nyaris tak pernah sepi pengunjung. Ada saja yang datang, dari tokoh masyarakat, tokoh politik, petinggi daerah, hingga warga biasa. Kehadiran mereka juga tiada menentu. Sesuai pengalaman, Jero Mangku Made Sania, pangayah di Pura Geger, terkadang pagi sampai sore sepi. “Namun, begitu pulang, menjelang tengah malam ada yang datang mengedor-gedor pintu rumah, minta agar pamangku hadir ke pura,” tuturnya. Sebagai pamangku yang tugas pokoknya mengantarkan bakti umat, dia jelas tak hendak menolak. Langsung berangkat saat itu pula. “Saya tak berani memastikan maksud dan tujuan kehadiran pamedek dimaksud. Mungkin mereka memohon keselamatan agar yang akan dilaksanakan berjalan lancar.

    August 25, 2009

    Jejak Markandeya di Bumi Parhyangan




    Pura Murwa (Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama kali Maharsi Markandeya menyebarkan ilmu keagamaan, menularkan ilmu teknologi pertanian pada orang Aga yang tinggal di Payangan.
    Kecamatan Payangan yang berlokasi di belahan barat laut, Kabupaten Gianyar, selama ini lebih banyak dikenal sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci. Satu identitas yang sulit ditampik kenyataannya. Mengingat hanya di Payangan jenis tanaman yang menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari negeri Tirai Bambu, Cina, banyak bertumbuhan.

    Di balik potensi pertanian yang dimiliki, kawasan yang berada sekitar 500 meter dari permukaan laut ini ternyata memiliki banyak tempat suci tergolong tua. Satu di antaranya Pura Murwa Bhumi.

    Lokasi pura tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan. Kalau Anda berangkat dari Denpasar hendak menuju Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka di satu tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter sebelum Pasar Payangan, coba sempatkan melihat ke arah kanan jalan (arah timur). Di sana terpampang dengan jelas papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar ada menyebut Purwa Bhumi. Dalam penjelasan Kelian Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa Melinggih Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa Pengaji ini memiliki pertalian dengan kisah perjalanan seorang tokoh suci Maharsi Markandeya, di tanah Bali Dwipa.

    Seperti banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di antaranya lontar Markandeya Purana, bahwa sang yogi Markandeya yang kawit hana saking Hindu (yogi Rsi Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang—kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng, berlokasi di Jawa Tengah.

    Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali.

    Di pulau mungil ini Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan dan membangun banyak tempat suci.

    Di antaranya Pura Murwa Bhumi.

    Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di Payangan dan sekitarnya menyebutkan, tempat suci ini konon menjadi tempat pertama kali Maharsi Markandeya memberikan pembelajaran kepada para pengikutnya. Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila dikaitkan dengan nama tempat di mana pura tersebut dibangun, yakni Desa Pengaji.


    Besar kemungkinan nama Pengaji diambil dari satu tugas mulia Maharsi Markendya selama berada di Payangan, yakni memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-orang. “Kehadiran Pura Murwa Bhumi ada tercatat di dalam prasasti,” sebut Cokorda Made Ranayadnya, tetua dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura Murwa Bhumi. Satu di antaranya tertulis dalam prasasti Pura Besakih yang termuat di Buku Eka Dasa Ludra. Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura di Payangan bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga sekitar sering menyebut Pura Dalem Murwa.

    Tak beda jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan.

    Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar.

    Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:

    Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara. Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,

    Artinya:

    Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....

    Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandeya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa (serba) dan ada, Jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada.

    Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat inspirasi (kahyangan) dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut Payangan.

    Tempat di mana rohaniwan mengelar pertapaan dibuat sebuah mandala srta didirikan sebuah sebagai tempat memuja para dewa. Pura dimaksud diberi nama Murwa yang artinya permulaan.Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama Purwa atau Murwa (kini bernama Murwa Bhumi) disebut sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang bisa dijadikan bukti otentik.

    Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama dengan timur atau yang pertama. Di timur pertama kali matahari mulai memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur pula bulan kali pertama terbit.

    Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan, boleh jadi di Pura Murwa Bhumi-lah dijadikan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut agama dan cara-cara berteknologi guna memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud zaman dulu, jelas menyangkut cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.

    Tempat suci yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji, menurut Bandesa Pakraman Pengaji Dewa Ngakan Putu Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan. Di antaranya palinggih babaturan dan Gedong Bang yang menjadi stana Ida Rsi Markandeya. “Dulu ada peninggalan terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya menyerupai perahu,” kata Ngakan Adnyana. Dari Bedau itu terus keluar air yang biasa dimohon oleh warga guna dijadikan sarana pengobatan, terutama bila ada ternak yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan sebagai pengingat saja, warga mengganti dengan perahu batu baru.Selain tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.

    Tapak–tapak Suci Sang Maharsi

    Jejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Balidwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman.

    Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lamat-lamat komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.

    Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.

    Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali. Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.

    Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan.

    Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.

    Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:

    Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”

    Artinya : di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.

    Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan (Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandeya juga membangun tempat suci Murwa (Purwa) Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian.

    Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang diberinama Sukamerih (mencapai kesukaan). Letaknya tepat di seberang jalan Pura Murwa Bhumi.

    Sesuai penjelasan Bandesa Pakraman Pengaji, Dewa Ngakan Putu Adnyana, kedua pura tadi oleh warga Pengaji diyakini ada saling keterkaitan. Maka, upacara keagamaan juga dilaksanakan secara bersamaan.

    March 30, 2009

    Bulan Maret Ditahun 2009 Yang Unik

    Terinspirasi acara “Metemu Wirasa” beberapa waktu lalu di Pendopo Romo Jati, memancing diri untuk merenung berkenaan dengan keunikan di bulan Maret ini, dimana tiga Hari Raya Besar Umat HINDU bergandengan di bulan yang sama, yaitu: Galungan, Nyepi dan Kuningan. Dimana keunikan ini hendaknya disikapi dengan kewaspadaan terutama terhadap gejolak alam. Benarkah demikian dan mengapa demikian? Sebaiknya kita simpan saja pertanyaan ini, dan biarlah Alam sendiri yang akan memberikan jawabannya nanti.

    Menyerahkan jawaban pada Alam bukan berarti berdiam diri, kucoba perhatikan setiap keunikan yang berlangsung, mulai dari Ritual Melasti yang di gelar di Pura Segara pada tanggal 23 Maret, dimana ritual kali ini lebih besar dari tahun sebelumnya dengan persembahan sesaji yang lebih bervariasi. Selanjutnya Upacara Taur Agung (Taur Kesanga) pada tanggal 25 Maret yang diselenggarakan di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur, yang untuk pertama kalinya di PUPUT oleh lima Manggala Upacara (Pendeta/Pedanda), Banten Caru pun jauh lebih besar dari tahun sebelumnya.

    Sempat mendengar bisik2 Umat saat itu yang menyatakan bahwa upacara kali ini mengekor pada Upacara Besar di Bali “Panca Balikrama”.

    Benarkan demikian?

    Atau mungkinkah para PENGLINGSIR kita memang telah mengetahui gejolak alam yang akan terjadi hingga merasa perlu menggelar UPACARA BESAR untuk meredamnya?

    Apapun jawabannya, semoga semua rangkaian UPACARA yang telah kita lalui benar-benar didasari oleh niat yang tulus sebagai wujud CINTA KASIH pada BUNDA SEMESTA.