October 2, 2008




Pura Dang Kahyangan Gunung Payung
Pura Gunung Payung yang berlokasi di kaki Pulau Bali dipercaya sebagai benteng spiritual Bali di kawasan selatan, sehingga bisa terlindungi dari berbagai bencana.
Terjangan ombak Samudera Indonesia tiada bosan menghias laut di kawasan pantai selatan Bali, tepatnya di tepian tenggara Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, sore pertengahan Juli silam. Gulungan ombak itu sesekali menerjang tebing batu karang, di lain waktu berserakan sebelum sampai di bibir pantai. Hari bertambah senja, suasana pantai di ujung selatan Bali ini semakin memesona seiring kemunculan bulan Purnama di ufuk timur. Perlahan bulan bulat sempurna yang memancarkan sinar putih nan lembut itu meninggi dan meninggi lagi. Sinar rembulan yang awalnya hanya sebagian menyinari lautan nan biru, perlahan mulai terpencar ke berbagai penjuru. Di sudut lain, para petani bulung (rumput laut) yang sedari pagi bergumul dengan hasil panennya, mulai sibuk mengumpulkan rumput laut. Mereka tentu tak ingin rumput laut yang sudah mulai mengering itu kembali membusuk hanya karena terlambat memindahkan ke tempat teduh. Tak jauh dari lokasi para petani rumput laut itu, tepatnya pada satu pura di atas tebing teguh batu karang, puluhan orang tiada kalah sibuk. Orang-orang berbusana adat Bali tersebut silih berganti keluar masuk tempat suci. Ada yang membawa canang ceper bersaranakan bunga saja, tak jarang pula menghaturkan banten yang dilengkapi beraneka kue dan buah-buahan “Saban Purnama-Tilem dan hari-hari suci Hindu lainnya, orang-orang memang banyak berdatangan ke pura sejak pagi,” Jero Mangku Alit, seorang warga Desa Kutuh. Pura Gunung Payung atau Bukit Payung, begitu nama tempat suci yang berlokasi di tanjung Kutuh tersebut. Lumrahnya tempat suci yang tersebar di seantero Bali, Pura Gunung Payung pun pada hari-hari suci, terlebih lagi di hari bulan Purnama, seperti Purnama Kasa (bulan pertama sesuai kalender Bali), memang sering dimanfaatkan orang Bali untuk datang (tangkil), hendak bersujud ke hadapan Ida Batara penguasa di pura ini. Dulu, sebut Jero Mangku Alit, warga yang datang umumnya di seputaran Desa Kutuh, Ungasan, dan Sawangan, Nusa Dua. Ketika transportasi semakin lancar, sebut Bandesa Pakraman Kutuh, I Wayan Litra, pamedek yang datang bersujud di hadapan Ida Batara penguasa Pura Gunung Payung, bukan hanya datang dari warga Desa Kutuh. Tak jarang yang hadir adalah orang-orang dari luar desa, seperti dari Badung Utara, Denpasar, Gianyar, Klungkung, Tabanan bahkan juga dari luar Bali. “Saya tidak tahu secara mendetail sejarah keberadaan Pura Gunung Payung,” ujar Jero Mangku Musir, pamangku Pura Gunung Payung. Hanya, dari cerita para panglingsir di Kutuh, di dapat informasi Pura Gunung Payung konon ada hubungan dengan perjalanan suci Ida Padanda Sakti Wawu Rauh. Pura yang sesuai disuratkan Jero Mangku Soebandi dalam buku berjudul Pembangunan Pura-Pura Di Bali, terbitan Kayu Mas Agung, Denpasar, bahwa pura yang memiliki luas sekitar 10 are dengan laba pura seluas 15 hektar, berkaitan erat dengan perjalanan Danghyang Nirartha saat menyusuri tepian selatan pulau Bali. Dikisahkan Soebandi, bahwa sesudah Danghyang Nirartha atau lumrah pula disebut Ida Padanda Sakti Wawu Rauh usai membangun parhyangan di Uluwatu— pura ini berlokasi di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung—, warga setempat dikumpulkan kemudian diberi petunjuk serta wejangan agar menjaga serta memelihara pura Uluwatu.Selesai memberi nasehat, sang rohaniwan melanjutkan perjalanan suci menuju arah timur. Melewati jalan setapak berbukit-bukit yang dipenuhi bebatuan. Hingga sampai pada satu goa yang belakangan dikenal dengan nama Goa Watu. Dari goa itu Danghyang Nirartha meneruskan langkah, melanjutkan perjalanan mengelilingi tepian pantai Bali selatan dengan tujuan pertamanya menuju satu tempat yang sekarang bernama Desa Bualu.Tiba di tengah perjalanan, tepatnya pada sebuah tanjung, sang rohaniwan istirahat sambil menancapkan tangkai payung ke tanah. Tak diduga dari tanah bekas tancapan tangkai payung tadi ternyata keluar air jernih. Air itu kemudian dipakai membersihkan diri guna mengembalikan kesegaran tubuhnya setelah melakukan perjalanan cukup melelahkan. Bagi warga sekitar, munculnya air mancur dari tanah bekas tongkat yang ditancapkan tersebut menumbuhkan rasa gembira. Sejak saat itu pula mereka mmperoleh air penghidupan yang dianggap sebagai tirta amerta. Satu anugerah dari Hyang Maha Kuasa. Sebagai pertanda rasa bahagia, warga selanjutnya membangun satu tempat suci sebagai tempat memuliakan sekaligus memuja Hyang Widhi, dinamakan Pura Gunung Payung atau lumrah pula disebut Bukit Payung. Setelah cukup waktu berdiam di tebing nan indah itu, Dang Hyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara, menyusuri pantai. Beberapa saat setelah melakukan perjalanan, sang rohaniwan menemukan dua buah pulau batu yang kelak bernama Nusa Dua. Di tempat ini rohaniwan dari Jawa Timur ini beristirahat, sambil menyusun kakawin berjudul. Anyang Nirartha, satu karya sastra berkisah tentang keindahan alam yang ditemukan sepanjang melakukan perjalanan suci di Bali selatan. Kisah mitoligi perjalanan Danghyang Dwijendra yang berkembang di masyarakat Kutuh dan sekitarnya, selama ini memang menjadi rujukan utama keberadaan Pura Gunung Payung. Belum ditemukan tinggalan prasasti ataupun benda-benda bersejarah lain yang dapat dipakai sebagai pertanda lain, kecuali sebuah palinggih tirta yang diyakini menjadi pertanda ketika pertama kali Danghyang Dwijendra hadir di puncak bukit ini. Dalam sejumlah kakawin, termasuk Kakawin Anyang Nirartha yang merekam kisah perjalanan dan perenungan pendeta yang juga pencipta karya susastra kakawin di seputar kaki Pulau Bali, Mpu Nirartha memang sempat melukiskan jelas keindahan alam di Bali selatan. Dia begitu mendalam terpesona oleh keindahan pesisir Bali berpasir putih ini. Panorama alam berupa deburan ombak berbuih putih, kokokan ayam hutan, lekuk-liku kelokan teluk, onggokan batu karang berketinggian curam, hingga bongkahan-bongkahan daratan pulau-pulau alit kerap dibayangkan dan dimaknai sebagai ritus diri sang pendeta manakala melakukan pemujaan dengan samadi kehadapan Hyang Mahasuci.
Purohita Kerajaan Gelgel ini memang kerap disebut-sebut berjalan menyusuri pesisir Bali, dari ujung barat ke selatan, kemudian menuju arah timur, hingga ke utara. Dalam perjalanannya sang pendeta gemar menyinggahi pura. Selain Pura Gunung Payung, ada beberapa pura yang kini termasuk wilayah Kabupaten Badung sempat disinggahi pendeta ini, antara lain: Pura Uluwatu, Goa Gong, Batu Pageh, Pura Geger, dan Goa Batu Matandal. Kemudian Pura Petitenget di Kuta, Pura Sada di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, serta Pura Pucak Tedung di Desa Sulangai, Kecamatan Petang. Cerita di masyarakat yang sempat direkam Jero Mangku Musir, konon antara Gunung Payung di Kutuh dengan Pucak Tedung di Petang, ada hubungan erat. Di Gunung Payung Danghyang Nirartha menancapkan tangkai payung hingga keluar air, sedangkan di Pucak Tedung tertambat payungnya. Sumber-sumber ilmiah formal sebagai bukti keberadaan Pura Bukit Payung atau Gunung Payung memang tiada mudah mendapatkan, toh tempat suci yang diempon warga Desa Kutuh ini tetap diposisikan sebagai pura penting di pesisir selatan Bali. Semakin hari pura yang puncak upacara (piodalan)-nya jatuh pada Purnama Kawulu (bulan kedelapan sesuai kalender Bali) ini tetap saja dibanjiri pamedek. Selama piodalan, kata Wayan Litra hampir selalu dipenuhi pamedek. “Piodalan di sini sekarang berlangsung tiga hari,” sebutnya. Dulu, sebelum menyandang status sebagai Pura Dangkahyangan, upacara hanya dua hari. Selain palinggih Tirta yang di dalamnya ada sumur, lamat-lamat di Pura Gunung Payung juga berkembang bangunan suci lain sebagai pelengkap. Palinggih yang berada di areal jeroan, mandala paling dalam, pada sisi timur ada Padmasana sebagai stana Hyang Mahatunggal, Hyang Widhi, lengkap dengan tatahan Badawangnala (simbolik api magma Bumi) dan belitan naga Anantabhoga (simbolik lapisan tanah) bersama Naga Basuki (simbolik lapisan air). Di selatan padmasana berdiri meru tumpang (tingkat) tiga sebagai stana Mpu Nirartha. Di sebelahnya ada palinggih gedong dan paling ujung selatan terdapat palinggih Tugu Penyarikan.Di depan Padmasana terdapat sumur suci yang dikelilingi tembok panyengker. Air yang ada di sumur inilah kini menjadi sumber tirta (air suci). Bila ada warga yang mohon tirta kakuluh saat tangkil ke pura atau dipergunakan sebagai sarana waktu ngeteg linggih, maka dimohonkan pada air suci di sumur. Di belakang palinggih tirta ada gedong panyawangan Ida Batara di Gunung Agung, Gunung Batur, dan Manik Galih.Masih berdasarkan kisah yang didapat Wayan Litra dari para moyangnya, bahwa wilayah ini dulunya amatlah kering, maka Danghyang Nirartha beserta masyarakat mohon agar Ida Batara di Gunung Agung, Gunung Batur, dan Ida Batari Manik Galih memberikan berkah, sehingga kesuburan itu pun terjadi. Sebagai rasa sujud bakti warga atas berkah yang diberikan, maka warga memabngun satu gedong sari di Gunung Payung untuk ngayat ketika manifestasi Tuhan itu.Pura Gunung Payung memang menyimpan banyak kisah mitos. Di samping menyajikan segudang keindahan serta ketenangan yang terasa amat sempurna sekaligus mampu menghadirkan suasana begitu sunyi, hening, dan bening.Air Kehidupan di Kaki BaliAnda pernah mendengar nama Pura Gunung Payung atau Bukit Payung yang berlokasi di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung? Jika pernah, barangkali hanya mengetahui bahwa kini status pura yang berlokasi di ujung tenggara Desa Kukuh ini, telah resmi berstatus sebagai pura dangkahyangan. Satu tempat suci yang sempat menjadi persinggahan Danghyang Nirartha, seorang rohaniwan suci dari Jawa yang banyak menebar ajaran-ajaran kesucian di Bali.Dan, setelah resmi menjadi pura dangkahyangan sejak tahun 2005, urai Bandesa Pakraman Kutuh I Wayan Litra, pura yang lokasinya di tepian tebing batu karang pantai selatan Bali itu semakin sering didatangi orang-orang dari berbagai daerah. Selain acap dikunjungi para penguasa, pejabat tinggi di daerah, para pengusaha, dalam amatan Jero Mangku Musir, Pamangku Pura Gunung Payung, ternyata banyak pula didatangi warga yang sedang mengalami penderitaan (sakit). Tempat suci ini katanya, bukan pura bagi para balian. Toh, ada pula orang-orang yang datang tangkil untuk mohon kesembuhan. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan kelas masyarakat. Tak jarang orang yang tangkil umumnya disertai jero mangku dari desa bersangkutan. “Saya di sini paling menghaturkan sesaji. Saya bukan balian, tapi hanya sebagai penghubung serta mengantarkan bakti umat sesuai tujuan kedatangannya,” tegas Mangku Musir. Itu sebabnya, dia tak berani gegabah apalagi mengaku memiliki kemampuan menyembuhkan pasien.Setelah menghaturkan sesaji, maka rentetan selanjutnya, kebanyakan dilakukan para pamangku yang mengiringi waktu datang ke pura. Sesekali waktu Jero Mangku Musir iseng bertanya hingga orang bersangkutan harus mohon kesembuhan ke Pura Gunung Payung. Informasi yang diperoleh pun beragam, tapi umumnya para rohaniwan yang mengantar lebih banyak mengaku mendapat petunjuk dari alam niskala. Dalam petunjuk tersebut diingatkan supaya yang seang mengalami penderitaan diajak ke Pura Gunung Payung. Mengingat di pura ini tak ada tetanaman atau sarana khusus sebagai penyembuh, maka Mangku Mesir biasanya hanya memohonkan tirta di sumber air suci yang ada di depan palinggih Padmasana. Tirta itulah selanjutnya diberikan pada orang yang datang. Mangku Musir pun tak berani memastikan bahwa yang datang itu telah sembuh atau masih sakit. “Kalau kasidian (permohonannya terkabulkan), umumnya orang bersangkutan akan datang lagi ke pura. Mungkin membayar sesangi (kaul) yang pernah disampaikan waktu pertama kali datang,” Mangku Musir mengira-ngira.Sulit memungkiri memang, orang Bali dalam menggapai sesuatu termasuk membebaskan diri dari rajaman penyakit, tak hendak berhenti di jalur pengobatan medis. Langkah pengobatan alternatif baik lewat usada maupun niskala pun ditempuh. Tetap menjadi pilihan. Tempat yang dijadikan lokasi penyembuhan di samping balian juga memohon kepada Hyang Maha Agung di antaranya dengan pergi berobat ke Pura Dangkahyangan Gunung Payung. Satu tempat suci yang ada sumber mata airnya dan diyakini mampu memulihkan kesehatannya, menyucikan pikiran. NS

September 16, 2008

Tirta Yatra ke Pura Cariu – Petilasan Maha Rsi Agastya

Sekitar pukul 16.15 WIB. Seluruh peserta TIRTA YATRA telah berkumpul di Pura Segara. rencana keberangkatan yang semula dijadwalkan pukul 16.30 WIB dengan suka rela kami tunda dikarenakan ROMO JATI mesti melakukan "MUPUT" upacara PANGRUATAN dan kamipun ikut lebur dalam upacara tersebut. UPACARA yang menjadi tradisi turun temurun warisan LELUHUR ini memang seharusnyalah tetap dilestarikan.

Pukul 19.45 WIB. Upacara selesai dan kamipun segera bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Dengan berbekal tekad dan hasrat yang kuat kamipun mulai beranjak membelah malam. Seperti biasa petuah-petuah bijak dari ROMO JATI pun membahana menerobos relung hati dan menghiasi setiap kelokan jalan yang kami lalui. Gelapnya malam dan jalan yang rusak merupakan seni tersendiri bagi kami. Kadang beberapa dari kamipun meski berjalan kaki menerobos onak dan duri untuk sekedar memastikan agar rombongan tak salah jalan.

Jam 00.14 WIB. kamipun tiba dan disambut oleh Kang Ace, nuansa akrab penuh KASIH PERSAUDARAAN pun terjalin. Kang Ace pulalah yang berkenan membukakan Gerbang Pintu Utama yang sempat kami terobos tadi lantaran dilingkari Kunci Gembok yang besar dan tebal. Adapun jarak antara gerbang pintu utama dan lokasi Pura kurang lebih 500 meter.

Segera setelah membasuh muka dan berganti pakaian kamipun larut dalam nuansa HENING sesaat TRISANDYA pun mengalun indah membahana menghiasi sepinya malam. Bait demi bait kami uncarkan dengan penuh kesungguhan sebagai ungkapan BAKTI yang tulus. Setelahnya kami lanjutkan dengan PANCA SEMBAH, suara AGUNG Romo Jati saat memandu benar-benar telah membawa kami dalam nuansa yang LUAR BIASA yang tentu saja sulit untuk diuraikan dengan kata. Usai Panca Sembah kamipun melakukan MEDITASI…, HENING.., SEPI.. dan INDAH…, tak ada lagi yang menarik perhatian “telinga” ini, Aum….Aum…Aum hanya suara itu saja yang menggema dalam batin ini, hanya suara itu yang memenuhi relung hati tak ada yang lain…

Usai sembahyang dan MEDITASI sekitar jam 02.18 dinihari, kamipun mulai menyiapkan kopi dan hidangan lainnya… sambil berbagi cerita yang kadang mengundang tawa hingga nuansa keakrabanpun semakin terasa.

Mendekati terbitnya SANG FAJAR satu persatu dari kami mulai dibuai kantuk, namun bukan berarti suasana berubah menjadi sepi.. TIDAK!…. J lantaran dalam tidurpun beberapa teman tetap bersuara, meski suara yang dikeluarkan tidak jelas dan bahkan kadang malah menakutkan.

Jam 5.30 WIB. Kami mulai ngantri untuk mandi, namun gagal untuk melaksanakan YOGA ASANA lantaran kami melihat kondisi ROMO JATI yang amat lelah, maklum beliau sama sekali belum sempat untuk beristirahat. Saat baru saja tiba di Jakarta Beliau langsung “MUPUT” Upacara Pangruwatan dan setelahnya kami ajak ke PURA CARIU hmmm… entah berapa hari sudah beliau tidak tidur dan istirahat.

Selesai sembahyang, kamipun langsung kembali ke Jakarta, dan tiba di Pura Segara sekitar Jam 12.00 WIB. Saat tiba di Pura Segara sudah ada umat yang menjemput Romo Jati untuk keperluan Mlaspas rumah. OH TUHAN…, terbayang dalam benak ini alangkah lelahnya Romo Jati, ditambah lagi sore nanti sekitar jam 17.00 WIB Beliaupun harus bertolak ke TENGGER-Jawa Timur. Tak salah rasanya bila kami menjuluki Romo Jati sebagai KEKASIH PARA DEWA..


August 26, 2008

TANGKIL KE PURA SADKAHYANGAN LEMPUYANG LUHUR

Pura Sadkahyangan Agung Lempuyang Luhur adalah Pura Penyungsungan Jagat Bali Hindu. Kalau ditinjau dari sisi topografi terletak di ujung Timur Pulau Bali, pada suatu dataran tinggi (pegunungan), jelasnya :
Di Banjar/Desa Adat Purwayu, Desa Tista, Kec. Abang, Kab. Karangasem, Bali.



Bila akan memedek ke Pura Sadkahyangan Agung Lempuyang Luhur, melalui Kec. Abang, ada dua jalur, yaitu :
1. Jalur Kemuda/Purwayu : melalui Desa Ngis Tista, Kemuda, Penataran Agung Lempuyang Luhur di Purwayu, Telaga Mas, Pasar Agung dan akhirnya sampailah di Lempuyang Luhur.
2. Jalur Basangalas; melalui Desa Ngis Tista, Basangalas, Desa/Banjar Gamongan, Telaga Sawang, Lempuyang Madya (Parahyangan Mpu Gni Jaya) lanjut menuju luhuring Lempuyang Madya, Pucak Bisbis, sampai di Pasar Agung dan akhirnya sampai di Lempuyang Luhur.


Jro Mangku Lempuyang Luhur tinggal di Desa Kemuda
Jro Mangku Lempuyang Madya tinggal di Banjar Gamongan.

Pada hari kamis wuku dungulan ini pada tanggal 21 Agustus 2008 saya tangkil ring Ida Bhetara Lempuyang Luhur. Ida Bhetara yang berstana disana sering disebut Ida Bhetara Hyang Agnijaya yang juga disebutkan mengemban Ida Bhetara Hyang Iswara.
Adapun Bhisama Ida Bhetara Hyang Agnijaya yang patut kita hayati adalah sebagai berikut :

"Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring Kahyangan, tan bakti kita, ngedasa temwang sapisan, ring Kahyangan nira Hyang Agni Jaya, moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kneng sahupa drawa."
"artinya Semoga engkau orang Bali, kalau engkau lupa kepada Kahyangan-Ku, tidak menyembah bhakti sekali sepuluh tahun, di Kahyangan Hyang Agni Jaya, semoga tidak lahir sebagai manusia kembali, semoga tiga kali kena kutukan"

Begitulah linging Bhisama Ida Bhetara Hyang Agni Jaya yang selalu menjadi pedoman bagi Umat Hindu asal Bali di manapun mereka berada. Setidaknya setiap sepuluh tahun Umat Hindu yang berasal dari Bali wajib menghaturkan sembah bhakti kehadapan beliau.Semoga kita umat sedharma diberikan kekuatan lahir dan bhatin untuk bersujud kehadapan-Nya sehingga kita tan keneng upadrawa.

August 16, 2008

Galungan kali ini jatuh pada tanggal 20 Agustus 2008 dan Kuningan jatuh pada tanggal 30 Agustus 2008

July 25, 2008

SILSILAH PASEK GELGEL SAWANGAN


KETIKA ALAM MASIH KOSONG

SAMPAI TRI LINGGA TURUN KE BALI



Om Swastyastu,

Om A No Bhadrah Kratawo Yantu Wiswatah,




Para pembaca yang budiman, sebelum saya mulai menghaturkan jalannya ceritera Betara Kasuhun Pasek Gelgel Pesawangan di Sawangan, khususnya leluhur kami (“Kaki Bongol dan Kaki Djelantik”), marilah kita heningkan pikiran sejenak, menghormat Kehadapan Betara Iswara, Betara Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya, Hyang Dewi Danuh, Betara Mpu Gni Jaya apriyangan di Lempuyang Madya, Betara Mpu Ghana apriyangan di Dasar Bhuwana, Betara Mpu Semeru apriyangan di Besakih, Betara Mpu Kuturan apriyangan di Silayukti dan Sang Hyang Aji Saraswati.
Memohon semoga Betara-Betari, asung lugraha dan asung kertha wara nugraha, kepada kita sapretisentananya, yang ingin mengetahui adanya Betara-Betari di Bali khususnya di Sawangan.
Sekali lagi, damuh Paduka Betara-Betari (Penulis), dengan hati yang penuh kesucian, mohon agung pangampura kehadapan Paduka Betara, karena damuh Paduka Betara-Betari berani (langgana) mengisahkan dan menyebut-nyebut nama-nama Paduka Betara-Betari, yang tiada lain karena tujuan suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, agar para damuh Paduka Betara-Betari, sama mengenal Paduka Betara-Betari.
‘Ksamakna hulun de Hyang Mami, mwang Dewa Bhatara makadi Hyang Kawitan, moghi hulun tan kneng upadrawa tulah pamidi, nimitaning hulun, ngutaráken katatwan ira, sang wusamungguh ring tmagawasa, lepihaning kawitan, kang wenang kasungsung de treh…………’. (Leluhur Orang Bali, Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, hal. 1).
Artinya :‘Maafkanlah hamba oleh junjungan hamba, dan para dewa-dewa pelindung, seperti halnya para leluhur, semoga hamba tidak mendapat kutukan, lancang. Sebab hamba menuturkan prihalnya beliau, yang telah bersthana pada lempengan tembaga, lempiran Leluhur, yang seterusnya dijunjung oleh turunan………’.
Semoga setelah sama mengenal Betara-Betari, akan segera ingat kembali kepada sumbernya, timbul suatu hasrat suci, berbhakti kehadapan Betara-Betari, setia mengemban lingning Bhisama, demikian juga setia mengemban Kahyangan dan selalu ingat kepada Pamujawalinya.
Selanjutnya, sebelum saya haturkan kisah Pasek Gelgel Sawangan Pratisentana Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, terlebih dahulu akan saya haturkan sedikit tentang turunnya Tri Lingga di Bali. Seperti terungkap dalam Babad Pasek bahwa pada jaman bahari tahun Çaka 11 (tahun 89 M), Gunung Agung meletus dengan dahsyatnya, yang mengakibatkan rusaknya Nusa Bali. Hyang Harimbawa sangat mudahnya menggoyahkan Nusa Bali dan Seleparang (Lombok). Pasca bencana alam tersebut, di Bali hanya masih tersisa 4 gunung (Catur Loka Pala) yaitu di Timur Gunung Lempuyang, di sebelah Barat Gunung Watukaru, di sebelah Selatan Gunung Andakasa, dan di sebelah Utara Gunung Beratan. Karena demikian rusaknya Nusa Bali, maka Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Semeru, sangat prihatin melihatnya, maka Hyang Pasupati berkenan membongkar sebagian di bagian barat dari lereng Gunung Semeru, untuk dipindahkan ke Bali dan Seleparang (Lombok).
Perintah Hyang Pasupati ; Ki Bedawang Nala diperintahkan sebagai dasar Gunung yang akan dipindahkan, Sang Naga Basukih dan Sang Ananta Boga menjadi tali pengikat, Sang Naga Taksaka yang menerbangkannya, lanjut diturunkan di Bali dan Seleparang, pada hari Wrhaspati (Kamis) Umanis, wara Merakih, panglong ping 15, Sasih Karo, Tenggek 1, Rah 1, Candra Sangkala Eka Tang Bhumi, tahun Çaka 11 (Bulan Agustus 89 M). Ketika membawa potongan gunung itu ada bagian-bagian yang tercecer. Bagian yang kecil menjadi Gunung Lebah (Gunung Batur terletak di Kintamani, Bangli) sedangkan bagian yang lebih besar menjadi Gunung Tohlangkir yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Agung di daerah Karangasem. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, mulai saat itulah awal mula Nusa Bali. Setelah terwujud kesemuanya itu, Hyang Pasupati di Gunung Semeru memanggil semua putra-putranya, setelah sama-sama berada di hadapan Hyang Pasupati, sabda Betara Kasuhun :“ Wahai anakku bertiga, Agni Jaya, Putra Jaya dan Dewi Danuh, tidak lain anakku bertiga kusuruh pergi ke Bali, membangun kembali Nusa Bali dan nantinya anakku bertiga menjadi pujaan orang Bali”.
Betara Tiga menghaturkan sembah, serta haturnya : “Paduka Betara, hamba ini masih kanak-kanak, tidak tahu jalan menuju Nusa Bali dan belum sanggup memelihara Nusa Bali”.
Sabda Hyang Pasupati: “Anakku bertiga, jangan kamu bersusah hati aku akan memberi engkau bertiga wahyu, supaya kehendakmu semua tercapai, kamu bertiga adalah anakku tercinta, wajib nanti menjadi pujaan orang-orang Bali, sampai akhir jaman”.
Hyang Pasupati beryoga, memberikan anugrah kepada anaknya bertiga, segera juga Betara bertiga menghaturkan sembah penghormatan kehadapan Hyang Pasupati. Betapa ramainya suara genta pemberkatan dan suara genta penghormatan dari Betara bertiga (Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya dan Hyang Dewi Danuh) kehadapan Hyang Pasupati. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu.
Setelah Betara bertiga diberkati, segera digaibkan ke dalam seludang kelapa gading, dikirim/berjalan melalui dasar laut dan bumi. Demikian cepatnya, Betara bertiga telah sampai di Puncak Gunung Tohlangkir (Agung), pada hari Sukra (Jumat) Kliwon, wara Tolu, sasih Kelima, Penanggal ping 3, rah tenggek 13 (Bulan November) tahun Çaka 113 (191 M), Gunung Agung meletus sangat hebatnya, api menyembur keluar dari lubang kepundan Gunung Agung, gempa, kilat berkesinambungan tiada putus-putusnya. Ditambah pula dengan suara dentuman-dentuman letusan, hujan sangat lebatnya, lahar mengalir ke seluruh penjuru, kejadian ini berlangsung sampai dua bulan lamanya. Demikian suatu pertanda kehadiran Batara bertiga di Nusa Bali.Tidak beselang lama, entah beberapa tahun kemudian, Betara bertiga sama-sama membagi tugas: Hyang Agni Jaya yang menjalankan tugas Kependetaan, ngemban Betara Iswara di Pura Sadkahyangan Agung Lempuyang luhur, Hyang Putra Jaya, yang mengemban tugas Kepemerintahan, apryangan di Gunung Agung (Tohlangkir), Hyang Dewi Danuh yang mengemban tugas Kemakmuran apryangan di Ulundanu Batur.
Hyang Pasupati di Gunung Semeru, mengutus lagi Putra Putrinya datang ke Bali, memperkuat kedudukan Betara bertiga, masing-masing yaitu : Hyang Tugu, Hyang Manik Gayang, Hyang Manik Gumawang dan Hyang Tumuwuh. Setibanya di Bali langsung menghadap Hyang Putra Jaya di Gunung Agung – Puncak Tohlangkir. Gunung Agung meletus pada waktu Sang Catur Purusa tiba di Bali. Setelah selesai penghadapan kehadapan Betara Tiga, Sang Catur Purusa ditugaskan:
1. Hyang Tugu ditugaskan apryangan di Gunung Andakasa.
2. Hyang Manik Gayang ditugaskan apryangan di Pejeng.
3. Hyang Manik Gumawang ditugaskan apryangan di Gunung Beratan.
4. Hyang Tumuwuh ditugaskan apryangan di Gunung Watukaru.
Demikianlah taatnya Sapta Dewata-Dewati menjalankan swadharmanya masing-masing, mulailah tenang keadaan Nusa Bali, Sang Harimbawa tidak dapat lagi menggoyahkan Nusa Bali dan Seleparang.
Pada suatu hari yang sangat baik, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati, sama berkumpul pada suatu tempat yang suci di kaki Gunung Agung, berbincang-bincang. Adapun yang diperbincangkan tiada lain mengenai keadaan Nusa Bali, yang masih sunyi senyap. Bertalian dengan hal-hal tersebut diatas, ketujuh Putra-Putri Hyang Pasupati mengambil suatu keputusan, untuk menghadap kehadapan Hyang Pasupati ke Gunung Semeru. Tiada diceritakan hal-hal yang terjadi dalam perjalanan, karena telah sama-sama berbadan suci, begitu pergi begitu pula sampai di tempat tujuan. Segera saja menghadap Hyang Pasupati, dengan tata cara kedewataan, Hyang Maha Suci. Melihat Putra-Putrinya datang, memperkenankan mereka sama duduk lalu bersabda : “Wahai Putra-Putriku tercinta, apa gerangan tujuan anakku menghadap ayahanda”. Matur Betara-Betari semua, sambil mengucapkan mantra sucinya, sebagai dasar penghormatan kehadapan Hyang Pasupati : “Betara, anaknda datang menghadap ini, perlu menyampaikan adanya Nusa Bali yang sangat kosong, tiada seorang manusiapun yang menyungsung anaknda. Kiranya patut, hanugrahilah anaknda manusia ke Bali, untuk turut mengemban Nusa Bali dan menyungsung anaknda di Bali”.Sabda Hyang Pasupati yang disertai dengan mantra sucinya: “Anakku semua, terimalah anugrahku, segala kehendak anaknda akan berhasil, tunggulah ayah di Nusa Bali”.
Betara Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, menghormat menghaturkan puja kedamaian, bergema suara genta, bagaikan kumbang mengisap sari, lalu semuanya mohon diri pulang ke Bali. Banyak hal-hal yang terjadi pada waktu itu, Sapta Dewata-Dewati, semua sudah sama berbadan suci, begitu pamitan begitu pula sampai di Bali, serta langsung menuju Parhyangan masing-masing. Tiada beselang lama, di Gunung Semeru, Hyang Pasupati/ Hyang Premesti Guru menyusul turun ke Bali, diiringi oleh Dewata-Dewati, Rsi Gana dan Dewata Nawa Sanga, semua pergi ke Bali.
Betara Parameswara mempergunakan Padma Manik Anglayang diapit payung dan umbul-umbul, bergema suaranya genta serta doa puji-pujian, hujan kembang dari angkasa. Sedangkan Betara yang lain berbeda-beda kendaraannya, semua gembira mengiringi Hyang Pasupati. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Sedemikian cepatnya rombongan telah sampai di Bali/Puncak Tohlangkir, segera disambut oleh Hyang Agni Jaya beserta adik-adiknya, dengan tata cara kependetaan, ramai suara genta penyambutan.Sabda Hyang Pasupati, setelah upacara penyambutan selesai : “Wahai anak-anakku semua, marilah kita sekarang pergi ke Ulundanu ke Kahyangan Dewi Danuh, disana kita semua beryoga semadhi, agar segera tercipta manusia yang anaknda cita-citakan”. Setelah bersabda lalu berangkat ke Ulundanu, begitu cepatnya akhirnya sampai di Kahyangan Hyang Dewi Danuh. Setelah selesai upacara penyambutan oleh Hyang Dewi Danuh, akhirnya semua Dewata-Dewati mencari suatu tempat yang suci, disana sama beryoga dengan sangat tekunnya, dihadapan api pedipaan, dengan harapan segera tercipta manusia.
Hyang Basundari (Tanah) diambil diyogai agar menjelma menjadi manusia. Tiba-tiba datang Betara Yamadipati, berwujud anjing hitam, tidak hentinya mengganggu yoga Betara Kabeh seraya berkata: “Betara-Betari, sekarang Betara berkehendak menciptakan manusia dari tanah, saya sangat sangsi, mustahil tanah itu akan menjadi manusia, saya akan bersumpah; saya akan sanggup memakan kotoran manusia itu bila tanah itu dapat menjadi manusia”.
Betara bersabda : “Apa katamu anjing, besar sekali kesanggupanmu kepadaku, sekarang dengarlah kataku baik-baik, bila aku tidak dapat menciptakan manusia, aku bukanlah kepala dari semua Dewa-Dewa. Patut aku ditenggelamkan ke dalam kotoran anjing”, terlalu sengit perdebatan itu.
Kemudian Betara beryoga, dengan tekunnya mempersatukan kekuatan bhatinnya, berkobar api dalam pemujaan, menjulang asapnya ke angkasa. Akhirnya setelah tercipta manusia, tiba-tiba manusia itu rusak, disaat itu, anjing hitam itu menggonggong; kong….kong…..kong suaranya. Kembali Betara beryoga, rusak lagi ciptaanya, anjingpun menggonggong lagi, hal ini terjadi sampai berulang-ulang, namun belum berhasil menciptakan manusia. Dewata-Dewati karena dikalahkan anjing, kembali beryoga dengan berbadankan Tri Loka, berkobar api pedipaan, Nusa Bali jadi bergetar, Sang Hyang Amerta keluar segera saja tercipta manusia ciptaan itu.Betara Premesti Guru bersabda: “Hai anjing, sekarang kamu benar-benar telah kalah, ingatlah sumpahmu itu, mulai sekarang sampai seterusnya anjing harus memakan kotoran manusia”. Betapa malunya anjing itu menerima kutukan Betara, dia tiada menjawab apa-apa, kembali pulang dengan hati yang sangat sedih, menyesali akan perbuatannya, kembali berubah wujud menjadi Yamadipati, kembali pulang ke Yama Loka. Begitu tiba di Yama Loka, lalu berkata kepada seluruh rakyatnya, terutama kepada Ki Buta Kalika, katanya : “Hai Kalika dan para Kingkara Bala semua, kamu akan kuperintah turun ke dunia, menggantikan aku memakan kotoran manusia, turun-temurun, apa sebab demikian adalah karena aku kalah bertaruhan dengan Hyang Pasupati. Terimalah perintahku, gantilah diriku menjadi anjing, kelak apabila manusia telah meninggal, pada saat itu engkau bersama saudara-saudaramu menyiksa roh manusia yang berbuat jahat”. Demikian sabda Hyang Yamadipati, seluruh Kingkara Bala menunduk sambil berpikir, handainya menolak titah Betara Yamadipati itu, tentu akan dimusnahkan. Ki Buta kalika dan Kingkara Bala dengan sedih menuruti perintah Hyang Yamadipati.
Kembali kepada yoga Betara Ghuru, dalam menciptakan manusia dari serabut kelapa gading lahirlah dua orang manusia laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Ktokpita dan yang perempuan Ni Jnar. Kemudian mereka dikawinkan, berbahagialah perkawinan mereka, sangat baik suami istri, karena kehendak Dewata. Perkawinan mana menurunkan keturunan tidak putus-putusnya, laki atau perempuan. Selanjutnya Betara Kasuhun, beryoga kembali menciptakan manusia, akhirnya tercipta dua orang laki-perempuan, yang laki diberi nama Ki Abang dan yang perempuan diberi nana Ni Barak. Setelah mereka sama dewasa, lalu dikawinkan, lanjut menurunkan anak laki-perempuan. Banyaklah sudah manusia-manusia laki-perempuan ciptaan Betara di Bali, anak beranak kelanjutannya, yang terbanyak tinggal di Gunung Batur.
Hyang Premesti Ghuru, memerintahkan para Dewata-Dewati, agar sama turun ke Bali, mengajar apa-apa yang patut dilaksanakan manusia, lebih-lebih dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Manusia-manusia itu mulai merasa lapar, dahaga, kedinginan, maka mulailah mereka diajar bercocok tanam, bersawah, atau berladang. Daerah Danau Baturlah yang menjadi pusat pertanian yang kepertama, bagi orang-orang ciptaan Dewata di Nusa Bali. Karena Hyang Dewi Danuh memegang kekuasaan di bidang kemakmuran.Ramailah sekarang orang-orang menyungsung Hyang Dewi Danuh di Ulun Danu Batur. Sedemikian cepatnya perkembangan orang-orang di Nusa Bali, terpencar menyungsung Dewata-Dewati Putra-Putri Hyang Pasupati.
Kembali kepada Ki Abang dan Ni Barak yang sudah berumah tangga, mereka suami istri pindah ke tepi Danau, karena tempat itu cocok untuk bercocok tanam, Ki Abang mempunyai lima orang anak; empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Lama-lama tempat Ki Abang disebut Desa Abang. Tentramlah keadaan Nusa bali, Sapta Dewata Dewati sangat tekunnya menjalankan swadharmanya masing-masing, demi keselamatan Nusa Bali.
Manusia tidak putus-putusnya mempunyai keturunan, saling ambil keambil tehadap misan mindon. Adapun mata manusia pada saat itu adalah semua hitam, serta dapat melihat dan berbicara dengan Dewa-Dewa. Para Dewata tetap menuntun manusia-manusia, bercocok tanam, bersawah, berkebun dan menanam segala keperluan hidupnya. Tidak terkatakan subur tanam-tanamannya itu, hingga pada suatu senja, tatkala Betara Kasuhun sedang berjalan-jalan, melihat perkampungan orang-orang ciptaannya, demikian juga sawah ladangnya, terutama mengenai hasil pertanian mereka.
Kemudian Betara dilihat oleh orang-orang, dengan segera mereka matur dengan sangat hormatnya, diantaranya matur “Betara hendak pergi kemana, sekarang”; Betara bersabda : “Aku hendak berjalan-jalan melihat-lihat tanam-tanaman dan pertanianmu”. Seorang diantara mereka matur lagi; “Bila demikian Paduka Betara, hamba akan mempersembahkan hasil pertanian hamba, yang paduka Betara kehendaki”, Betara berdiam tiada bersabda apa-apa. Percakapan itu didengar oleh Ki Baluan, betapa marahnya Ki Baluan melihat manusia matur kehadapan Betara sambil buang air. Ki Baluan berkata dengan marahnya kepada manusia itu, katanya; “Ih kamu manusia, yang rendah budi, tidak tahu peraturan, matur kehadapan Betara sambil buang air, pantaslah kamu penjelmaan berasal dari tanah di kepal-kepal”. Manusia itu menjawab dengan kemarahan juga, katanya ; “Apa Baluan, terlalu kata-katamu, mengungkapkan asal-usulku, sungguh kamu juga sangat hina, pura-pura tahu tatwa sesana, tidak menyadari juga asal-usulmu dari kumatat-kumitit. Iri padaku pura-pura saleh, lihatlah Betara tidak merasa tersinggung kepadaku”. Balik Ki Baluan berkata : “Engkau manusia yang sangat dungu, hina rupa hina pikiran, semoga kamu menjadi orang desa seterusnya atas dosamu merendahkan Dewa”, demikian keluar kata-kata Ki Baluan, karena panas hatinya.Oleh karena peristiwa tersebut, Betara memanggil manusia semua, setibanya di penghadapan mereka diperintahkan menengadah dan mendelik matanya, Betara segera menoreh matanya dengan Kapur disertai kutukan, bahwa mulai saat ini manusia tidak dapat melihat para Dewa lagi sampai seterusnya, karena dosanya matur sambil buang air. Demikian kutukan Betara kepada manusia.Sabda Betara : “Ini ada anugrahku kepadamu, seandainya kamu berkehendak menemuiku, kamu akan dapat bertemu denganku, apabila ajalmu telah sampai”. Begitulah sabda Hyang Parama Wisesa. Semua hadirin menyembah Paduka Betara dan seterusnya pulang ke rumah masing-masing dengan hati yang sangat sedih. Demikianlah asal mula manusia tidak dapat melihat Para Dewa. Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan Ki Baluan. Manusia itu berkata kepada Ki Baluan, katanya: “Hai kamu Baluan, kebetulan kita bertemu lagi, aku bersumpah padamu, bahwa mulai sekarang sampai seterusnya manusia akan menjadi musuhmu, kelak keturunanku akan membunuh keturunanmu terus menerus”. Menjawab Ki Baluan; “Aku tidak menolak apa kata-katamu, tetapi ada pula sumpahku padamu. Pada waktu kajeng kliwon, waktu itu keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan jalam menjilat mata kaki dan hulu hatinya sampai keturunanmu menemui ajalnya. Baiklah, hal ini kita akan sampaikan kepada turunan masing-masing”. Ki Baluan mohon anugrah Dewata, agar badannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan tempatnya, untuk mengelabui kejelasan pandangan manusia.
LAHIRNYA SANG PANCA TIRTHA
Mari kita kembali kepada hal-hal yang terjadi di Puncak Tohlangkir. Pada tahun Çaka 27 (th 105 M) Gunung Agung meletus lagi dengan sangat hebatnya, entah hal-hal apa yang terjadi pada waktu itu. Beberapa tahun kemudian, tahun Çaka 31 (th 109 M), Betara Tiga beryoga di Puncak Tohlangkir (Gunung Agung), untuk membersihkan Nusa Bali tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Kliwon, wara Kulantir, dikala bulan Purnama raya, Sasih Kelima, atas kekuatan yoga Betara Tiga, Gunung Agungpun meletus lagi dengan sangat hebatnya.
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Bali yang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.Akibat dari kekuatan/kesucian yoganya Betara kalih, Gunung Agung menambah hebat letusannya lagi, keluar banjir api dari lubang kepundannya, kilat, gempa berkesinambungan, hujan sangat lebatnya, dentuman-dentuman suara letusan tiada hentinya. Maka dari kekuatan yoga Hyang Agni Jaya, keluar dari Panca Bhayunya seorang laki-laki bernama Mpu Withadharma. Alkisah Mpu Withadharma alias Çri Mahadewa melakukan yoga semadi dengan teguh dan disiplin. Dari kekuatan Panca Bhayunya lahirlah dua orang anak laki-laki dan diberi nama Mpu Bhajrasattwa alias Mpu Wiradharma dan adiknya diberi nama Mpu Dwijendra alias Mpu Rajakertha.
Mpu Dwijendra kemudian melakukan yoga semadhi. Berkat yoga semadhinya itu, lahirlah dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Gagakaking alias Bukbuksah dan adiknya bernama Brahmawisesa. Selanjutnya, Brahmawisesa melakukan yoga semadhi, dari kekuatan Panca Bhayunya, lahirlah dua anak laki-laki, masing-masing bernama Mpu Saguna dan Mpu Gandring. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring sendiri. Sedang Mpu Saguna, dari yoga semadhinya melahirkan seorang putra laki-laki bernama Ki Lurah Kepandean, yang selanjutnya menurunkan Wang Bang yaitu Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande).
Adapun Mpu Bhajrasattwa, berkat yoga semadhinya, menurunkan seorang putra bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Kemudian Mpu Tanuhun juga melakukan yoga semadhi, kemudian dari kekuatan bhatin dan Panca Bhayunya, beliau menurunkan lima orang putra yang juga dikenal dengan sebutan Panca Tirtha (Panca Sanak). Kelima putranya tersebut antara lain :
1. Sang Brahmana Panditha (Mpu Gni Jaya).
2. Mpu Mahameru (Mpu Semeru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Beradah (Peradah)
Semua telah menjadi wiku. Semenjak beliau masih kecil-kecil, semuanya tekun menjalankan swadharmanya masing-masing.
Selanjutnya dari yoga Hyang Putra Jaya, lahir dua orang putra putri masing-masing bernama, yang laki bernama Betara Ghana dan yang perempuan bernama Betari Manik Gni. Ketujuh putra-putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya, pergi ke Gunung Semeru, menghadap Hyang Pasupati, untuk memperdalam ajaran agama dan kependetaan. Setelah sama dewasa dan telah sama tamat dalam hal menuntut ilmu, maka Betari Manik Gni dikawini oleh Sang Brahmana Panditha, sejak perkawinannya itu Sang Brahmana Panditha, berganti nama Mpu Gni Jaya. Setelah sekian lama putra putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya berada di Gunung Semeru, pada suatu hari yang baik, Hyang Pasupati bersabda kepada cucu-cucunya, sabda Betara Kasuhun: “Wahai cucu-cucuku semua, kamu telah sama dewasa dan telah tamat dari menuntut ilmu, demikian juga telah sama menjadi Pendeta, aku memberi ijin kepadamu untuk kamu kembali ke Nusa Bali menghadap orang tuamu, turut menjaga Nusa Bali”. Demikian sabda Hyang Pasupati.
MPU SEMERU
Mpu Semeru mohon ijin untuk pulang ke Bali, menghormat dengan tata cara kependetaan kehadapan Hyang Pasupati dan segera berangkat menuju Nusa Bali, pada tahun Çaka 921 (th 999 M). Beliau menganut sekte Siva. Mpu Semeru segera tiba di Kuntulgading terus melalui Tulukbiu, menuju Besakih, tepatnya pada hari Sukra (Jumat) Kliwon wara Julungwangi, bulan Purnama Raya, sasih Kawulu. Selanjutnya Mpu Semeru, ditugaskan di Besakih mengemban Pura Penataran Agung bersama Tri Warga lainnya yaitu : Pande, Sagening dan Penyarikan. Entah berapa tahun kemudian, Mpu Semeru membangun tempat pemujaan yang disebut Parhyangan, tempat melakukan yoga semadhi. Parhyangan tersebut diplaspas/katuran Karya Agung Pengenteg Linggihnya pada hari Soma (Senin) Umanis, wara Tolu, dipuput oleh Mpu Gni Jaya dan Mpu Withadharma. Parhyangan Mpu Semeru tersebut, sekarang dikenal dengan sebutan Pura Ratu Pasek Besakih (Catur Lawa). Pada suatu hari yang baik, Mpu Semeru akan menghadap Hyang Dewi Danuh ke Ulundanu Batur melewati Tampurhyang. Setibanya di Tampurhyang, beliau berhenti dan beristirahat di tepi Danau Batur, Mpu Semeru tertarik akan kejernihan air danau tersebut, lalu beliau mandi dan lanjut mengadakan yoga semadhi, memuja kehadapan Hyang Dewi Danuh. Setelah itu segera berangkat, dalam perjalanan terlihat olehnya tuwed kayu asem, yang sangat bagus, karena dibuat oleh Dewata. Takdir telah mengatur sedemikian rupa, segera Mpu Semeru beryoga mempersatukan keahliannya, dengan segera saja tuwed kayu tersebut menjadi manusia. Terpukau manusia ciptaan itu, tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Segera saja manusia itu menyerahkan diri kehadapan Mpu Semeru, sang Maha Rsipun bersabda; “Wahai manusia apa ada keperluanmu”, manusia itupun matur; “Siapakah yang telah menaruh belas kasihan terhadap hamba ini, menjadikan hamba manusia”. Sang Maha Rsipun menjawab; “Akulah yang menjelmakanmu menjadi manusia”, manusia itupun menelungkup menyembah, memeluk kaki Sang Maha Rsi, seraya matur; “Siapakah sebenarnya Maha Rsi ini”, Mpu Semeru menjawab; “Aku adalah putra Hyang Agni Jaya dari Gunung Lempuyang, aku bernama Mpu Semeru”. Manusia itupun segera lagi menyembah dan matur kehadapan Mpu Semeru: “Maha Rsi, apakah yang hamba pakai membayar hutang hamba kehadapan Maha Rsi, sekarang tuluskanlah paswecan Maha Rsi kepada hamba, bersihkanlah segera kotoran diri hamba, sehingga menjadi bersih untuk seterusnya”. Anugrah Mpu Semeru kepada Si Kayureka, karena di Bali belum ada/kekurangan sulinggih, Si Kayureka diperkenankan menjadi penuntun orang-orang Bali Mula, yang berpusat di Tampurhyang. Si Kayureka diperkenankan menjadi Bujangga selama tiga turunan dan bernama Mpu Kamareka (Mpu Bendesa Dryakah). Ada amanat Mpu Semeru kepada Mpu Kamareka; “Ada keturunanku yang lahir dari Mpu Gni Jaya, yang apryangan di Lempuyang Madya, keturunanmu harus tetap berada di sebelah kiri keturunanku. Demikian juga pada waktu meninggalnya, keturunanmu harus menyembah keturunanku, sebab engkau aguru putra padaku”. Mpu Kamareka sangat tekunnya menjalankan swadharmanya di Tampurhyang. Mpu Kamareka menurunkan Pasek Kayuselem Tampurhyang, turun binurun wredisentana. Di Kayuselem, ada juga Pasek Kayuselem keturunan dari Pasek Bajra ireng tusning Mpu Gni Jaya (kakak dari Mpu Semeru). Entah beberapa tahun kemudian, datang pula ke Bali orang-orang pengiring Rsi Markandeya, yang berasal dari India, yang menyebarkan Agama Hindu pertama di Bali. Beliaulah yang menurunkan Orang Aga dan Bali Mula yang disebut Bujangga Waisnawa. Ramailah sekarang orang-orang yang menyungsung Betara-Betari di Bali. Terus ambil keambil, sama-sama wredisentana.
MPU GANA
Mpu Gana ke Bali tahun Çaka 922 (th 1000 M), setibanya di Bali langsung menghadap Betara Tiga, lanjut Mpu Gana ditugaskan di Gelgel Dasar Bhuana.
MPU KUTURAN
Mpu Kuturan menyusul saudaranya turun ke Bali tahun Çaka 923 (th 1001 M), berperahu daun kapu-kapu dan berbidakkan daun bende, turun di Pantai Padang. Demikian bunyi Prasasti yang menyebutkan Pemargin Mpu Kuturan ke Bali :“Kunang sira Mpu Kuturan turun wentening Bali, apadawu witning kapu-kapu, abidak rwaning benda, turun maring kakisiking Bali ring Padang, kala diwe udha siwa wara Pahang, titi sukla paksa madu, sirsa caksu, I sakyem gni suku babahan udani dita 923, neher winangunaken Parhyangan Silayukti, ayoga swala Brahmacari”.
Mpu Kuturan turun ke Bali terdorong oleh beberapa faktor yaitu :
1. Memenuhi undangan Guna Prya Dharma Patni/Udayana Warmadewa, yang memerlukan
keahlian beliau di bidang Agama.
2. Karena ada pertentangan sedikit dengan istrinya (Walu Nateng Dirah/Rangdeng Dirah) yang
menganut aliran Bhairawa (Tantrayana Buddha Kalacakra), sedangkan Mpu Kuturan
menganut aliran Buddha Mahayana (Sekte Tantrayana Kanan).
3. Karena melihat adanya tanda-tanda perpecahan Kerajaan Deha, Mpu Kuturan sebagai
Bhiksuka, lebih mengutamakan ajaran dharma dari kepentingan pribadi. Kesempatan yang
baik ini dipergunakannya untuk merantau ke Bali, menjalankan swadharmanya,
menghajarkan agama.
Dyah Ratna Manggali (Putri Mpu Kuturan) di kawini oleh sepupunya (Mpu Bahula) yang menurunkan Brahmana di Bali. Inilah sebenarnya kawitan bagi Brahmana keturunan Mpu Beradah.
Kembali kepada Mpu Kuturan, setibanya di Padang (Silayukti), entah berapa hari berselang, Mpu Kuturan menghadap kakaknya ke Besakih, yang suatu kebetulan Betara Tiga sedang di Besakih. Betapa gembiranya, lama berpisah, akhirnya bertemu dengan tiada terduga-duga. Mpu Kuturan ke Bali tiada dengan keluarganya. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu. Akhirnya Mpu Kuturan, ditugaskan selaku Pemimpin Agama di Padang, karena telah menetapnya Mpu Kuturan di Padang, beliaupun membangun Parhyangan sebagai tempat melakukan yoga semadhi, di Padang, yang lebih dikenal dengan nama Silayukti. Rakyat Padang sangat bakti kepada Mpu Kuturan.
Peranan Mpu Kuturan di Bali, selain sebagai senapati di dalam pemerintahan maupun sebagai Guru Besar Agama Siva dan Buddha, di tengah-tengah masyarakat Hindu di Bali. Mpu Kuturan mengabdikan dirinya pada pemerintahan Guna Prya Dharma Patni/Udayana Warmadewa, Raja suami istri yang berkuasa pada waktu itu. Baginda Raja berasal dari Jawa Timur sedangkan suaminya Udayana Warmadewa adalah keturunan Raja Bali.
Mpu Kuturan yang selalu mendampingi Raja, beliau didudukkan sebagai Ketua Majelis Pekira Kiran Ijro Makabehan (Dewan Penasehat yang beraggotakan seluruh senapati, para Pandita Dangacaryya dan Dangupadhyaya (Siva dan Buddha)). Suatu kesempatan bagi Mpu Kuturan, untuk mengikatkan pengabdiannya kepada masyarakat Bali.
Mpu Kuturan ingin menyelami hati para pemimpin masyarakat Bali, agar dapat menyusun dasar yang kuat bagi tata cara kemasyarakatan yang sebaik mungkin. Mpu Kuturan mengadakan pertemuan besar keagamaan, yang bertempat di Bataanyar, Daerah Kabupaten Gianyar (Samuan Tiga), yang dihadiri oleh Para Tokoh Agama, Pendeta Siva Buddha dan Kepala Sekte Agama. Didalam pertemuan, masing-masing utusan dapat mengeluarkan buah pikiran dengan bebas. Demikian Mpu Kuturan, mempergunakan kesempatan ini untuk memberikan prasaran yang panjang lebar, yang akhirnya prasaran tersebut disambut baik oleh semua tokoh masyarakat. Maka paham Mpu Kuturan yaitu paham Tri Murti, yang paling cocok dijadikan pegangan hidup Masyarakat Bali Hindu, agama yang akan diterapkan adalah Agama Siva dan Buddha, berpusat di Kahyangan Besakih. Untuk membuktikan diterimanya paham Mpu Kuturan, maka setiap Desa Adat, dibangun Kahyangan Tiga yaitu : Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Desa/Bale Agung, tempat memuja Tri Murti. Pada setiap rumah tangga juga diharuskan membangun suatu bangunan suci (Sanggah) yang beruang tiga (Rong Telu/Kemulan), tempat memuja Tri Murti. Demikian cara Mpu Kuturan meletakkan dasar keagamaan, bagi masyarakat Bali, yang mana perlu kita pahami dan kita terapkan secara turun temurun. Usaha Mpu Kuturan didalam mengatur dan membina maasyarakat Bali terjadi kurang lebih tahun 1001 Masehi, hingga sekarang ajaran Mpu Kuturan, masih tetap menjadi dasar bagi kehidupan masyarakat Bali seperti adanya Awig-awig Desa dan Awig-awig Subak, dll.
Pada jaman Pemerintahan Prabhu Airlangga, manakala putra-putranya telah sama dewasa, maka Prabhu Airlangga mengirim utusan ke Bali yang dipimpin oleh Mpu Bradah, menghadap kakaknya ke Silayukti yaitu Mpu Kuturan. Mpu Bradah selaku pemimpin utusan menyampaikan maksud dari Prabhu Airlangga, yang mana agar salah seorang putranya dapat didudukkan menjadi Raja Bali. Permohonan ini ditolak oleh Mpu Kuturan dengan penjelasan bahwa rakyat Bali menginginkan kepemimpinan di Bali berada ditangan Warmmadewa. Dalam hal ini Mpu Kuturan telah mempunyai calon yaitu Çri Anak Wungsu, putra bungsu dari Guna Prya Dharma Patni (adik kandung Çri Airlangga). Mpu Bradah merasa gagal tujuannya, beliaupun mekolem/membuat pekoleman di luar Parhyangan Silayukti. Tempat pekoleman tersebut, sekarang bernama Pura Tanjung Sari, tempat penghayatan Mpu Bradah.
MPU GNI JAYA
Mpu Gni Jaya yang masih tinggal di Gunung Semeru, telah mempunyai tujuh orang putra, dari perkawinannya dengan sepupunya Betari Manik Gni. Adapun nama ketujuh putra beliau tersebut antara lain:
1. Mpu Ketek
2. Mpu Kananda
3. Mpu Wiradnyana
4. Mpu Withadharma
5. Mpu Ragarunting
6. Mpu Prateka
7. Mpu Dangka
Ketujuh Mpu inilah yang menurunkan Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa. Kembali kepada Mpu Gni Jaya, karena beliau akan segera ke Bali, maka Mpu Gni Jaya menasehati adiknya Mpu Bradah dan putra-putranya, demikian sabdanya: “Adikku Mpu Bradah dan anak-anakku semua, saya akan segera meninggalkan adik dan anak-anak, akan kembali ke Bali, menghadap Hyang Agni Jaya, Hyang Putra Jaya dan Hyang Dewi Danuh, sebab telah sekian lama tidak pernah menghadap Betara-Betari di Nusa Bali. Ini adalah amanatku kepadamu semua, yang kamu harus tetap hormati nanti bila aku telah sampai dan wafat di Bali, sembahlah aku olehmu dan keturunan-keturunanmu sampai akhir jaman. Ingat sekali jangan melupakan Petirtayan Hyang Putra Jaya di Besakih, pada hari Purnamaning Kapat, harus anak cucu dan turunan-turunanmu, menghaturkan Pujawali, demikian harus diingat jangan lupa”.
Mpu Gni Jaya segera berangkat pergi ke Bali, pada hari Wraspati (Kamis) Kliwon, sasih Kedasa menuju adiknya di Padang (Silayukti). Banyaklah hal-hal yang terjadi pada saat itu. Begitu Mpu Gni Jaya tiba di padang. Mpu Kuturan melihat kakaknya datang, segera saja menjemput kakaknya, dengan sangat hormatnya menyembah Mpu Gni Jaya dengan tata cara kependetaan. Mpu Gana mendengar khabar kakaknya datang, segera saja pergi menghadap ke Padang (Silayukti). Betapa gembiranya pertemuan waktu itu. Esoknya, Sukra, Umanis sasih Kedasa Mpu Gni Jaya, Mpu Kuturan dan Mpu Gana menuju ke Gelgel, di Gelgel hanya sebentar saja, langsung menuju Besakih. Karena telah sama-sama berbadan suci, sebentar saja telah sampai di Besakih, langsung menuju ke Parhyangan Mpu Semeru. Mpu Semeru melihat kakak dan adik-adiknya datang, betapa gembiranya, segera menyambut sang baru datang, maklumlah kedatangannya tak terduga-duga. Banyaklah hal-hal yang terjadi pada waktu itu.
Entah beberapa lama di Besakih, demikian juga telah sama-sama dapat menghadap Betara Tiga, yang kebetulan ada di Besakih. Mpu Gni Jaya ditugaskan Apryangan di Lempuyang Madya. Oleh karena keluarga Mpu Gni Jaya masih berada di Jawa, maka beliaupun Ngejawa-Ngebali, lama-lama Mpu Gni Jaya membuat Parhyangan di Lempuyang Madya, tempat menuju dan melakukan yoga semadhi. Sekarang Parhyangan Mpu Gni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan dan Mpu Gana dikenal dengan Catur Parhyangan. Demikianlah halnya Mpu Gni Jaya turun ke Bali setelah selesai memperdalam ilmu kependetaan di Gunung Semeru (Di lingkungan Pura Mandara Giri Semeru Agung –Senduro Agung, Jawa Timur).
MPU BRADAH
Mpu Bradah adalah putra Hyang Agni Jaya yang ke-5 tinggal di Jawa, menjadi Bhagawanta Kerajaan Deha. Beliau mempunyai 2 orang putra putri, yang laki bernama Mpu Bahula, istrinya bernama Dyah Ratna Manggali, masih sepupu (Putri dari Mpu Kuturan). Mpu Bahula juga menjadi Bhagawanta kerajaan Deha menggantikan ayahnya, mempunyai dua orang putra dan empat orang putri, yang laki bernama :
1. Mpu Tantular, pengarang Sutasoma
2. Mpu Siwa Bandu, setri Betari Giri Dewi, juga menjadi Bhagawanta di Kerajaan Deha
Mpu Tantular mempunyai 5 orang putra, masing-masing bernama:
1. Danghyang Panawasikan
2. Danghyang Sidimantra (Mpu Bekung)
3. Danghyang Semaranata
4. Danghyang Kepakisan
5. Mpu Siwa Raga.Mpu Bekung (Danghyang Sidimantra) berputra sangkaning yoga, putra beliau bernama Ida Manik Angkeran.
Ida Manik Angkeran berputra 3 orang, masing-masing bernama :
1. Ida Banyak Wide, menurunkan Arya Bang Pinatih
2. Ida Tulus Dewa, menurunkan Arya Bang Sidemen, seorang kumpi dari Ida Tulus Dewa
(Perempuan) kawin dengan Arya Dauh, menurunkan Arya Dauh
3. Danghyang Semaranata (Asmaranata) berputra 2 orang yaitu:
a. Mpu Angsoka, berputra seorang bernama Mpu Astapaka, menurunkan Brahmana Buddha di
Bali
b. Pedanda Sakti Wawu Rauh (Danghyang Nirartha/Danghyang Dwijendra), ke Bali tahun
1489 M, menurunkan :
- Brahmana Kemenuh wijiling setri – Deha
- Brahmana Manuaba wijiling setri – Pasuruhan
- Brahmana Keniten wijiling setri – Blambangan
- Brahmana Mas wijiling setri – Okan Bendesa Mas
- Brahmana Petapan wijiling setri – Pelayan Okan Bendesa Mas (Ni Brit dan Ni Petapan)
Putra Mpu Tantular yang ke-4 yang bernama Danghyang Kepakisan mempunyai seorang putra, bernama Sri Soma Kepakisan mempunyai putra 4 orang yaitu :
1. Dalem Wayan menjadi Dalem di Blambangan
2. Dalem Made menjadi Dalem di Pasuruhan
3. Dalem Nyoman Sukania menjadi Dalem di Sumbawa (Perempuan)
4. Dalem Ketut Kresna Kepakisan menjadi Dalem di Bali, bekedudukan di Samprangan, ke Bali
tahun 1350 M berputra 5 orang ( Dalem Tarukan, A.A. Anom Sudira Pering):
a. Sri Agra Samprangan (Dalem Ile) menjadi Dalem Samprangan (hanya sebentar)
b. Dalem Tarukan menurunkan Warga Pulasari
c. Dalem Nyoman (tidak disebutkan namanya)
d. Dalem Ketut Nglesir diangkat menjadi Dalem Gelgel yang pertama tahun 1380 – 1460
Masehi.
e. Dalem Tegal Besung (beribu putri Arya Gajah Para)Dalem Ketut Nglesir inilah yang menurunkan Dalem Klungkung.
MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI
Kembali kepada Mpu Gni Jaya yang menurunkan Sapta Rsi, kawitan (leluhur) langsung dari Maha Gotra Pasek, Tangkas dan Bendesa (MAHA GOTRA PASEK SANAK SAPTA RSI), yang juga merupakan kawitan (leluhur) langsung dari “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapretisentananya.
Mpu Gni Jaya mempunyai putra 7 orang atau yang sering disebut Sapta Rsi diantaranya :
MPU KETEK
Mpu Ketek berputra 2 orang yaitu Sanghyang Pemacekan dan Arya Kepasekan. Sanghyang Pemacekan juga berputra 2 orang, yang pertama Mpu Pemacekan kemudian pergi ke Pasuruhan, lalu pindah ke Majapahit. Putra yang kedua adalah seorang putri bernama Ni Dewi Girinatha. Sedangkan Arya Kepasekan juga mempunyai 2 orang putra yaitu : Kyayi Agung Pemacekan dan Ni Luh Pasek. Mpu Pemacekan di Majapahit mempunyai 3 orang putra yakni Ni Ayu Ler, Mpu Jiwanatha dan Arya Pemacekan. Kemudian Kyayi Agung Pemacekan berputra 2 orang yaitu Kyayi Pasek Gelgel dan Kyayi Pasek Denpasar. Mpu Jiwanatha mempunyai putra Kyayi Agung Padang Subadra, lebih lanjut Arya Pemacekan mempunyai putra Ni Luh Pasek dan Kyayi Agung Pemacekan. Kyayi Agung Pemacekan berputra Kyayi Agung Pasek Subadra dan Kyayi Pasek Tohjiwa. Kedua putra beliau ini berperan pada awal jaman Kerajaan Gelgel. Seterusnya Kyayi Agung Pasek Subadra berputra Pasek Subadra menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Suladri, ia berasrama di Taman Bali Bangli. Dan yang terkecil adalah Pasek Kuru Badra. Kemudian Kyayi Pasek Tohjiwa berputra; Pasek Tohjiwa menjadi tabeng wijang Kerajaan Gelgel, adik-adiknya adalah Pasek Tanggun Titi, Pasek Penataan, Pasek Antasari, Pasek Alas Ukir, Pasek Langlang Linggah, Pasek Besang, Pasek Duda, Pasek Wanagiri, Pasek Medaan, Pasek Bantiran, Pasek Pupuan dan Pasek Sanda. Sedangkan Pasek Subrata menurunkan Pasek Subrata Bale Agung, De Pasek Sadra, De Pasek Tawing dan De Pasek Mubutin. Dukuh Suladri di pesraman Tamanbali menurunkan I Gde Pasek Sadri, Pasek Sadra yang menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sakti Pahang, Ni Luh Sadri diperistri oleh Sri Angga Tirtha Ksatrya Tirtha Arum. Luh Sadra diambil oleh Dalem De Madya.
Sedangkan Pasek Kuru Badra menurunkan Pasek Padangrata di Padang. Pasek Subadra Bale Agung menurunkan De Pasek Subrata menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Sidawa menurunkan Gde Pasek Tulamben di Tulamben. Selanjutnya Dukuh Sidawa menurunkan Wayan Sibetan, Made Desa, Wayan Tubuh, De Pasek Subrata, Ia ikut pembrontakan I Gusti Agung Maruthi. Dukuh Sakti Pahang menurunkan Ni Luh Pasek Sadri dikawini oleh Kyayi Agung Anglurah Pinatih, yang kedua De Pasek Pahang, ia menjadi Pandhita dengan gelar Dukuh Titi Gantung, ia yang memperlihatkan kesaktiannya kepada Anglurah Pinatih Kasiman, sehingga akhirnya Anglurah Pinatih Kesiman mengungsi ke Desa Minggir daerah Karangasem, putra Dukuh Sakti Pahang yang ketiga adalah Pasek Sadri. Dukuh Titi Gantung menurunkan 3 anak yaitu Gurun De Pasek Sadra menjadi Pandhita bergelar Dukuh Sampaga, putra yang kedua Gurun Made Sadri, sedangkan yang ketiga Gurun Nyoman Sadriya dan yang paling kecil bernama Dukuh Bukit Salulung. Dukuh Sampaga menurunkan dua putra yaitu Made Pacung Mengwi, dan yang kedua Pasek Munggu yang bergelar Dukuh Sampagi.
Sekian banyaknya keturunan Mpu Ketek, mereka masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Tohjiwa, Pasek Tangguntiti, Pasek Padang Subadra, Pasek Wanagiri, Dukuh Sakti Pahang, Dukuh Sampaga, Dukuh Sampagi, Dukuh Bukit Salulung sebagai jati dirinya, sebagai pertanda keturunan Mpu Ketek.
MPU KANANDA
Mpu Kananda hanya berputra seorang yaitu Sang Kula Dewa, menjadi Pandhita dengan gelar Mpu Sweta Wijaya. Mpu Sweta Wijaya berputra 3 orang yaitu : Sang Kulputih yang tertua bergelar Mpu Dwijaksara. Beliaulah yang menyusun pegangan “Seha” atau “Anteban” buat para pemangku di Bali. Pustaka suci ini bernama “Sang Kulputih”, putra yang kedua bernama Mpu Wira Sang Kulputih pergi ke Pasuruhan. Putranya yang ketiga bernama Ni Arya Swani. Mpu Wira Sang Kulputih berputra Ni Luh Sorga dan Ki Dukuh Sorga, ia pergi ke Bali. Inilah yang menurunkan para Pemangku Kulputih di Besakih. Demikianlah keturunan Mpu Kananda yang mempergunakan pungkusan Pasek Sorga.
MPU WIRADNYANA
Mpu Wiradnyanapun berputra hanya seorang saja, yang bernama Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha. Beliau berasrama di hutan Tumapel, beliau berputra Mpu Purwa dan Ken Dedes. Ken Dedes dipersunting oleh Tunggul Ametung sebelum akhirnya dikawini oleh Ken Arok setelah dapat mengalahkan Tunggul Ametung, inilah yang menurunkan Raja-raja Jawa selama 4 Abad. Mpu Purwa berputra Arya Tatar dan Ni Swaranika. Arya Tatar pindah ke Bali dan mempunyai putra yang diberi nama Ki Gusti Pasek Lurah Tatar dan Ni Rudani. Ki Gusti Pasek Lurah Tatar menurunkan De Pasek Tatar yang kemudian menurunkan Pasek Tatar di Bali. Pungkusan Pasek Tatar di Bali dengan keturunannya yaitu Pasek Penataran, Pasek Tenganan, De Pasek Mangku Bale Agung, Pasek Bale Agung Buleleng dan Pasek Pidpid. Sekian banyak keturunan Mpu Wiradnyana masing-masing mempergunakan pungkusan Pasek Penataran, Pasek Tatar, Pasek Telengan dan Pasek Pidpid.
MPU WITHADHARMA
Mpu Withadharma mempunyai putra seorang bernama Mpu Wiradharma. Mpu Wiradharma pergi ke Pasuruhan. Disana beliau berputra 3 orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Pastika dan Mpu Pananda. Mpu Pastika dan Mpu Pananda nyukla Brahmacari (tidak menikah seumur hidupnya) lalu pergi ke Bali. Mpu Lampita berputra Mpu Dwijaksara. Beliau yang diminta oleh Patih Gajah Mada ke Bali untuk meperbaiki Parhyangan-Parhyangan di Bali agar orang-orang Bali Aga menjadi senang dan tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Beliau ke Bali diiringi oleh putra dan cucu-cucunya. Putra satu-satunya beliau yang sudah tua yaitu Ki Patih Ulung. Ki Patih Ulung beputra 2 orang yaitu Ki Bendesa Manik Mas dan Kyayi Gusti Smaranatha. Ki Bendesa Manik Mas menurunkan Kyayi Bendesa Mas sedangkan Kyayi Gusti Smaranatha berputra Ki Gusti Rare Angon yang selanjutnya beliau berputra Kyayi Agung Pasek Gelgel. Beliau menjabat sebagai Raja di Bali antara tahun 1343-1350 Masehi sebelum Adipati Kresna Kepakisan datang ke Bali, didampingi oleh patihnya yaitu Kyayi Padang Subadra.
Kyayi Bendesa Mas hanya mempunyai putri-putri saja, oleh karena itu beliau tidak mempunyai keturunan. Sedangkan yang banyak menurunkan adalah Kyayi Agung Pasek Gelgel dan Bendesa. Sekarang keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel yang berleluhur Mpu Withadharma tersebar di seluruh Bali, termasuk “Kaki Bongol dan Kaki Djelantik” dan sapratisentannya merupakan keturunan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Demikianlah banyaknya keturunan Mpu Withadharma, masing-masing memakai nama Pasek Gelgel, Pasek Bandesa, Pasek Tangkas, Pasek Dukuh Bungaya dan Pasek Dukuh Subandi.
MPU RAGARUNTING
Mpu Ragarunting adalah Mpu yang kelima dari Sanak Sapta Rsi. Beliau berputra satu orang bergelar Mpu Wira Runting atau nama lainnya Mpu Paramadaksa. Mpu Paramadaksa pergi ke Pasuruhan, lalu kemudian ke Majapahit. Di sana beliau berputra Mpu Wira Ragarunting dan Ni Ayu Wira Ragarunting, Ni Ayu Wira Runting.Mpu Wira Ragarunting menurunkan De Pasek Lurah Kabayan, De Pasek Lurah Tutuwan, De Pasek Lurah Salahin. Ketiga putra-putri ini pergi ke Bali. De Pasek Lurah Kabayan menurunkan De Pasek Lurah Kabayan Wangaya dan De Pasek Kabayan Penebel. De Pasek Lurah Tutuwan kawin dengan Gunaraksa, putri Arya Timbul. Ia diputusi keluarga oleh saudara-saudaranya karena menyembah Arya Timbul alias Arya Buru, putra Prabhu Airlangga dengan seorang gadis gunung. Pasek Lurah Tutuwan ini berputra I Made Bendesa Banjar Crutcut. De Pasek Lurah Salahin menurunkan De Pasek Salahin Tojan. De Pasek Salahin Tojan menurunkan Bandesa Simpar, selanjutnya De Bandesa Simpar menurunkan I Wayan Kabayan Tulamben.Demikianlah keturunan Mpu Ragarunting tersebar di Bali dengan pungkusan masing-masing diantaranya Pasek Salahin, Pasek Kubayan dan Pasek Tutuwan.
MPU PRATEKA
pu Prateka berputra seorang yaitu Mpu Pratekajnana atau disebut pula Mpu Pratekayadnya, beliau juga pergi ke Pasuruhan. Disini Beliau berputra Sang Prateka, Ni Ayu Swaranika dan Ni Ayu Kamareka. Sang Prateka berputra De Pasek Kubakal, ia kembali ke Bali dan menurunkan De Pasek Pasaban, De Pasek Rendang, De Pasek Nongan, De Pasek Prateka Akah, Ki Dukuh Gamongan dan Ki Dukuh Blatungan. Ki Dukuh Gamongan menurunkan Ki Dukuh Gamongan Sakti dan Ki Dukuh Prateka Batusesa. Sekianlah keturunan Mpu Preteka masing-masing dengan pungkusan Pasek Prateka,Pasek Kubakal dengan pusat di Kubakal – Rendang, Pasek Dukuh Gamongan, Pasek Dukuh Belatung dan Pasek Nongan.
MPU DANGKA
Sama halnya dengan Mpu Prateka, Mpu Dangka juga sedikit pratisentananya, beliau berputra seorang yaitu Mpu Wira Dangkya, beliaupun pergi ke Pasuruhan kawin dengan Dewi Sukerthi menurunkan tiga orang putra-putri yaitu : Sang Wira Dangka, Ni Ayu Dangki dan Ni Ayu Dangka. Sang Wira Dangka juga kembali ke Bali, lalu menurunkan Ni Rudani, De Pasek Lurah Kadangkan, De Pasek Lurah Ngukuhin dan De Pasek Lurah Gaduh. De Pasek Lurah Kadangkan berputra I Pasek Taro, I Pasek Penida, I Pasek Bangbang dan I Pasek Banjarangkan. Demikian juga De Pasek Lurah Ngukuhin berputra I Pasek Nyalian, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pucangan, I Pasek Gaduh Blahbatuh dan I Pasek Gaduh di Banjar Watugiling.
Demikianlah keturunan Mpu Dangka masing-masing membawa pungkusan Pasek Kedonganan, Pasek Kadangkan, Pasek Ngukuhin, Pasek Gaduh, Pasek Dangka, Pasek Penida dan Pasek Taro.
LELUHUR KAKI BONGOL DAN KAKI DJELANTIK
Sebelum bertutur banyak tentang Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, ada baiknya kita kembali kepada leluhur beliau yaitu Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Sebelum bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel beliau bernama I Gusti Agung Pasek Gelgel. Pada saat para Arya selaku penguasa daerah tidak berhasil mengendalikan jalannya roda pemerintahan di Bali, yang penduduknya mayoritas orang-orang Bali Aga, sehingga Bali berada dalam situasi tidak menentu. Atas prakarsa Ki Patih Ulung, lalu dikirimlah utusan dari Bali ke Majapahit untuk menghadap Raja. Perutusan ini langsung dipimpin oleh Ki Patih Ulung yang anggotanya terdiri dari sanak saudaranya, antara lain, I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa, I Gusti Pasek Padang Subadra, I Gusti Bandesa dan lain-lainnya. Setelah diadakan pembicaraan dari hati ke hati, antara perutusan dari Bali dengan Raja Majapahit yang didampingi Maha Patih Hamengkubhumi Kryan Gajah Mada dan para Manteri lainnya, Raja Majapahit memutuskan menyerahkan kekuasaan atas Pulau Bali kepada sanak saudaranya Ki Patih Ulung. Sebelum Raja Majapahit berhasil mengangkat seorang Adhipati untuk Bali, selama itu Ki Patih Ulung berkuasa.Setelah perutusan tiba di Bali, segera diadakan pasamuan (rapat) antara sanak saudara Ki Patih Ulung dengan tokoh-tokoh orang Bali Aga. Di dalam pesamuan itu disepakati secara bulat mengangkat I Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai pimpinan pemerintahan diBali. Sebab itu pada tahun Çaka 1265 (tahun 1343 Masehi) I Gusti Agung Pasek Gelgel dinobatkan sebagai Raja di Bali berkedudukan di Gelgel dan bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Beliau berhasil meredam permusuhan antara orang-orang Bali Aga dengan para Arya dari Majapahit, dan akhirnya pada tahun Çaka 1272 (bulan Oktober 1350 Masehi), setelah Raja Majapahit secara terpusat melantik beberapa Adhipati. Dan akhirnya pucuk pimpinan pemerintahan di Bali berpindah dari tangan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kepada Çri Kresna Kepakisan (putra bungsu dari Çri Soma Kepakisan). Dengan pindahnya kekuasaan Kerajaan Gelgel dari tangan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kepada Çri Kresna Kepakisan maka berakhirlah pemerintahan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Demikianlah hal ikhwal mengapa I Gusti Agung Pasek Gelgel bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel.Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel menikahi tiga orang istri yaitu yang pertama Luh Madri, putri Kyayi Kayuselem, Istri yang kedua yaitu Ni Luh Tangkas Kori Agung putri I Gusti Pangeran Tangkas dan satu lagi istrinya berasal dari Desa Gelgel. Dari perkawinannya dengan Luh Madri menurunkan I Gusti Pasek Gelgel di Tampurhyang Batur, yang lama kelamaan Desa Tampurhyang berubah menjadi Songan. Akhirnya keturunan I Gusti Pasek Gelgel di Tampurhyang dikenal dengan sebutan I Gusti Pasek Gelgel Songan dan kemudian hanya memakai sebutan Pasek Gelgel Songan.
Dari istrinya yang bernama Ni Luh Tangkas Kori Agung yang menurunkan putra yaitu Pasek Pangeran Tangkas Kori Agung, Bandesa Tangkas Kori Agung, Pasek Bandesa Tangkas Kori Agung dan Pasek Tangkas Kori Agung.
Dari Istri beliau (Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel) yang berasal dari Desa Gelgel, berputra 6 orang laki-laki dengan nama yang sama masing-masing adalah : I Gusti Pasek Gelgel Aan, I Gusti Pasek Gelgel Akah, I Gusti Pasek Gelgel Mandwang, I Gusti Pasek Gelgel Sangkanbhuwana, I Gusti Pasek Gelgel Bhudaga dan I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan.
Disini penulis tidak akan banyak bertutur tentang keberadaan ke-6 putra Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, kecuali I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan di Gelgel. I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan adalah leluhur langsung dari Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, oleh karenanya penulis akan mencoba mengupas sedikit tentang keberadaan I Gusti Pasek Gelgel Pegatepan.
I Gusti Pasek Gelgel di Pegatepan mempunyai putra 11 orang, yang sulung bernama Ki Pasek Manik Mas De Gurun Pasek Gelgel, kemudian pindah ke Nusa Penida, yang kedua bernama Ki Pasek Gegel (Ki Gede Bendesa Gelgel) yang tetap tinggal di Gelgel, yang ketiga bernama Ki Bendesa Manik Mas juga tetap tinggal di Gegel, yang keempat bernama Ki Pasek Gelgel kemudian pindah ke Desa Depaha, Buleleng lalu dijuluki Ki Pasek Gelgel Depaha, yang kelima bernama Ki Pasek Gelgel yang pindah ke Desa Bebetin, Buleleng seterusnya dijuluki Ki Pasek Gegel Bebetin, yang keenam Ki Pasek Gegel, lalu pindah ke Desa Gobleg Buleleng, seterusnya dikenal dengan sebutan Ki Pasek Gelgel Gobleg. Yang ketujuh bernama Ki Pasek Gelgel yang kemudian pindah ke Desa Ababi , Karangasem, lalu disebut Ki Pasek Gelgel Ababi. Yang kedelapan bernama Ki Pasek Gelgel, yang kemudian pindah ke Banjar Muntig, Desa Kubu Karangasem, kemudian dijuluki Ki Pasek Gelgel Muntig. Yang kesembilan bernama Ki Pasek Gelgel, kemudian pindah ke Banjar Pasek Tista, lalu disebut Ki Pasek Gelgel Tista. Dan yang kesepuluh bernama Ki Pasek Gelgel, lalu pindah ke Banjar Batudawa Desa Kubu Karangasem, lalu dijuluki Ki Pasek Gelgel Batudawa. Sedangkan yang kesebelas Ki Pasek Gelgel, yang kemudian pindah ke Banjar Tulamben Desa Kubu Karangasem, seterusnya disebut Ki Pasek Gelgel Tulamben. Demikianlah putra I Gusti Pasek Gelgel di Pegatepan, dengan berbagai macam sebutan.Pun dalam hal ini penulis dengan kerendahan hati dan tidak mengurangi rasa hormat, mohon maaf kepada pembaca yang budiman, oleh karena belum bisa memastikan, siapa sesungguhnya yang menjadi leluhur Kaki Bongol dan Kaki Djelantik.
Tetapi dalam hal ini penulis dapat memberi gambaran bahwa leluhur Kaki Bongol dan Kaki Djelantik adalah :
1. Berdasarkan cerita penglingsir bahwa Rakryanta Patih Kompyang Romya disambut baik oleh
Arya Bang Pinatih (leluhur I Nyoman Reta) dan bahkan sangat disayang. Kesayangannya
tersebut ditafsirkan, oleh karena beliau merupakan keturunan Raja Bali sebelum Cri Aji
Kresna Kepakisan. Inipun dapat diperkuat dengan bukti bahwa posisi Pura Dalem Dasar yang
ada di Pura Pengastulan berada paling Ulon (hulu).
2. Selain saat beliau tiba di Sawangan ini, beliau juga merupakan salah satu orang yang
diprioritaskan oleh Jero Mekel di Bualu. Inipun dapat dipakai alasan yang kuat bahwa
Rakryanta Patih Kompyang Romya merupakan keturunan orang penting yang memegang
kekuasaan di Bali.
3. Dari nama-nama beliau antara lain : Rakryanta Patih Kompyang Marutha dan Rakryanta
Patih Kompyang Romya, ini memberi gambaran kepada kita bahwa beliau bukan berasal dari
kalangan biasa. Dari nama mereka itu, sangat dimungkinkan bahwa mereka memegang
kedudukan penting dalam Kerajaan Gelgel (Swecalinggarsapura). Dari sini dapat
mengisyaratkan bahwa beliau tinggal di Desa Gelgel.
4. Berdasarkan Prasasti yang tersimpan di Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan di Sawangan,
mengisyaratkan bahwa beliau berdua sebelum tinggal di Banjar Sawangan ini (Cedok
Langdukuh-red), beliau sempat tinggal di Desa Kuta seperginya (kesahnya) beliau dari Desa
Gelgel, Klungkung. Di dalam isi Prasasti tersebutpun menunjukkan bahwa beliau berdua
berasal dari Desa Gelgel.
5. Dari letak Pura Dadya Agung/Merajan Agung di Gelgel, tepatnya di Banjar Pegatepan, Gelgel,
sebelah timur Pura Dasar Bhuwana Gelgel dan konon tempat beliau bermukim (Mayasa
kerthi) sebelum akhirnya kesah ke Banjar Sawangan adalah di sebelah barat Pura Dasar
Bhuwana Gelgel (Bangunan Sekolah – sekarang). Ini juga menunjukkan bahwa leluhur Kaki
Bongol dan Kaki Djelantik adalah putra I Gusti Pasek Gelgel di Pegatepan yang tinggal di
Gelgel.
6. Oleh karena hanya satu Pura Dadya Agung/Merajan Agung, yaitu yang berada di Banjar
Pegatepan Desa Gelgel itu, maka beliau bukan keturunan dari putra I Gusti Pasek Gelgel di
Pegatepan yang pindah dari Gelgel, melainkan putra beliau yang tinggal di Gelgel.
7. Dari isi Prasasti yang ada di Pura Ibu Pasek Gelgel Pesawangan menyebutkan bahwa
Rakryanta Patih Kompyang Marutha dan Rakryanta Patih Kompyang Romya, keturunan dari
Pasek Gelgel dan bukan yang lain. Ini dapat memberikan gambaran bahwa beliau berdua
adalah keturunan dari Ki Pasek Gegel/Ki Gede Bendesa Gelgel.
Demikianlah beberapa alasan mengapa Rakryanta Patih Kompyang Marutha dan Rakryanta Patih Kompyang Romya disebutkan sebagai pratisentana dari I Gusti Pasek Gelgel di Pegatepan yang tinggal di Gelgel, yang tepatnya lagi adalah keturunan langsung dari Ki Pasek Gelgel/Ki Gede Bendesa Gelgel. Sampai saat ini semua keturunan Ki Pasek Gelgel di Gelgel yang kesah ke Sawangan hanya memakai pungkusan I Wayan, I Made, I Nyoman, I Ketut untuk laki-laki atau Ni Wayan, Ni Made, Ni Nyoman dan Ni Ketut untuk yang perempuan.
Demikianlah penulis dapat menyimpulkan sebagai bahan untuk menggali mutiara yang hilang tersebut, walaupun masih belum dapat memastikan secara pasti siapakah sesungguhnya leluhur Kaki Bongol dan Kaki Djelantik. Tetapi dari uraian diatas dapat mengisyaratkan kebenaran dari leluhur Kaki Bongol dan Kaki Djelantik adalah Ki Pasek Gelgel/Ki Gede Bendesa Gelgel di Gelgel. Semoga pratisentana Kaki Bongol dan kaki Djelantik dapat menemukan mutiara yang hilang tersebut.
KAKI BONGOL DAN KAKI DJELANTIK
Kaki Bongol dan Kaki Djelantik adalah cucu dari Rakryanta Patih Kompyang Romya.Sebelum penulis bertutur panjang lebar tentang keberadaan Kaki Bongol dan Kaki Djelantik, ada baiknya penulis akan mengajak kembali melihat perjalanan hidup Rakryanta Patih Kompyang Marutha dan Rakryanta Patih Kompyang Romya.
RAKRYANTA PATIH KOMPYANG MARUTHA
Rakryanta Patih Kompyang Marutha adalah keturunan Ki Pasek Gelgel/Ki Gede Bendesa Gelgel di Gelgel. Rakryanta Patih Kompyang Marutha bersama adiknya Rakryanta Patih Kompyang Romya yang sama-sama beristri pergi meninggalkan Desa Gelgel menuju Desa Kuta mengikuti junjungan beliau kurang lebih pada pertengahan abad ke-17 (1600-an). Sehari-hari beliau sebagai nelayan mencari ikan penyu untuk dipersembahkan kepada junjungannya berdasarkan isi prasasti Pura Ibu Pasek Gelgel Sawangan. Ikhwal hubungan suami istri, mereka keluarga yang rukun dan bahagia dan bahkan bergelimang harta benda. Tetapi sayang kehendak Tuhan tidak dapat ditolak, mereka tidak menurunkan pretisentana seperti halnya Rakryanta Patih Kompyang Romya.
RAKRYANTA PATIH KOMPYANG ROMYA
Rakryanta Patih Kompyang Romya, kesah ke Sawangan dari Klungkung ke Kuta dan akhirnya berada di Sawangan ini, awalnya dipermaklumkan oleh Warga Arya Bang Pinatih Sawangan. Entah apa sebabnya, mereka dapat menjalin hubungan kekerabatan yang sangat baik sekali sampai-sampai terbukti dengan adanya Pelinggih di Areal Pura Pengastulan Sawangan, berada berdekatan dengan Pelinggih Arya Bang Pinatih yang disebut Pelinggih Dalem Dasar. Hal ini diprediksi bahwa mereka Arya Bang Pinatih masih bhakti dengan keturunan Raja Gelgel, yang memerintah pada tahun 1343 – Oktober 1450 yang bergelar Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Sehingga pelinggih Dalem Dasar dan Dalem Kesiman letaknya berdampingan, Pelinggih Dalem Dasar terletak di Timur Laut dan diselatannya barulah pelinggih Dalem Kesiman.Kembali kepada Rakryanta Patih Kompyang Marutha, Rakryanta Patih Kompyang Romya banyak mempunyai putra diantaranya Ki Bongkol, Ki Panted, Ki Dangul, Ki Pangguh, Ki Pusuh dan Ki Kitut. Demikianlah nama-nama putra beliau yang mengambil nama Siklus Kehidupan pohon Pisang, dari kehidupan awal pohon pisang sampai akhirnya berbuah. Oleh karena mengambil siklus kehidupan pohon pisang, maka pratisentana dari keenam putranya tersebut menyebut diri IJASAN (SISIR dalam Bahasa Indonesia).
Sekali lagi penulis mendapat kesulitan (Wanara kusa/kapi alang) dalam memaparkan dan sulit sekali bagi penulis untuk mengilustrasikan siapa sebenarnya menurunkan siapa. Tetapi dalam hal ini, penulis tidak menyerah dalam menyusun buku ini, karena penulis berkeyakinan bahwa generasi selanjutnya pasti akan menemukan mutiara yang hilang tersebut. Walaupun belum bisa dipastikan, penulis akan mencoba melanjutkan garis keturunan beliau.
Dari enam ijasan tersebut dapat dikelompokkan (menurut versi penulis) antara lain:
1. Kaki Pengedangan, Kaki Bongol, Kaki Djelantik, Kaki Pasung dan Kaki Cawan dikelompokkan
dalam Ijasan I.
2. Kaki Sebeng, Kaki Keceg, Kaki Megeteh/Sangket, Pan Remban, Pan Mideh dikelompokkan
dalam Ijasan II.
3. Kaki Kasna, Kaki Ramya dan Kaki Rina dikelompokkan dalam Ijasan III.
4. Kaki Lungsir dikelompokkan dalam Ijasan IV.
5. Pan Muncuk dikelompokkan dalam Ijasan V.
6. Kaki Griya dan Kaki Jati dikelompokkan dalam Ijasan VI.
Demikianlah beberapa hal yang dapat diungkapkan oleh penulis, mohon bantuan pembaca untuk urun pendapat dan mengkritik segala yang terasa kurang mengena....
Terasa tidak lengkap bilamana ucapan terimakasih belum sempat saya sampaikan kepada pembaca.

June 25, 2008

Falsafah BOLA

Seringkali kita terpaku hanya pada KITAB SUCI dalam mendalami spiritual dan tak jarang kitapun sering menyalah tafsirkan makna tersirat yang terkandung didalamnya. Padahal untuk menyelami spiritual kita bisa memulainya dengan hal-hal sederhana seperti apa yang dilakukan SAHABAT kita berikut ini..........
----------------------------------------------------
diambil dari milis semedi
kiriman Bp. Ngestoe Raharjo tanggal 20 Juni 2008
----------------------------------------------------
Falsafah Bola
Seorang siswa bertanya kepada Guru-nya: "Guru...mengapa orang-orang sedemikian menggandrungi sepak-bola?""Ada dua sebab utama anakku", jawab Sang Guru, "yang pertama adalah karena bola itu bundar, dan yang kedua adalah bola tidak pernah memprotes walau terus-menerus disepak-sepak, diinjak-injak dan disundul-sundul". Sesuatu yang bundar akan tetap terlihat sama darimanapun kita melihatnya.Sesuatu yang bundar, sebetulnya tidak punya sisi atas pun bawah, depan pun belakang, kiri pun kanan, sejauh ia tetap sama dari semua sisi, dari semua sudut pandang. Disamping tidak mengundang persepsi keliru terhadapnya, bentuk bundar atau bulat juga menimbulkan kesan utuh, konservasi enerji dan keseimbangan. Kalau bentuk-bentuk persegi, yang bersudut runcing memboroskan enerji lewat sudut-sudut runcingnya itu, maka yang bundar atau bulat tidak. Alih-alih memboroskan enerji, ia malah mengkonservasi enerji. Bola bisa bertumpu dengan seimbang, dengan mantap, pada sembarang sisinya; sesuatu yang tidak mungkin kita temui pada bentuk-bentuk persegi. Ia menyimbulkan keseimbangan yang juga dinamis -karena ia sangat mudah digerakkan, nyaris tanpa gesekan yang berarti dengan bidang dimana ia bergerak. Tidak pernah tidak bergerak menuju titik-titik keseimbangan temporernya. Ya ...bola yang bundar itu juga menyimbulkan kesabaran luarbiasa dan keadilan. Seperti kata Sang Guru, "....bola tidak pernah memprotes walaupun terus-menerus disepak-sepak, diinjak-injak dan disundul-sundul". Dimanapun ia ditempatkan, apakah itu di kaki, di bawah kaki, atau di kepala sekalipun,ia bisa tetap seimbang tanpa mengurangi kemampuannya untuk begerak dengan mudah, sangat "mobile" sementara tetap stabil.Melihat dari titik-titik pandang itu, kita bisa menjadikan bola, bentuk bundar itu, sebagai simbul dari seorang yogi, seorang penekun di jalan spiritual yang telah mencapai kesempurnaannya. Beliau penuh enerji, sangat dinamis namun tetap seimbang dan stabil karena penuh kesabaran dan juga adil.

March 24, 2008

Upacara Mlaspas Pura Budaya Jaya Sangga Buana

Berawal dari kunjungan persaudaraan ke komunitas suku dayak hindu budha bumi segandu, lahirlah harapan komunitas tersebut untuk lebih mengenal budaya & tradisi Hindu lebih dalam lagi. Maklumlah meski di “gapura padepokan” mereka jelas-jelas tertulis Suku Dayak Hindu Budha, namun mereka bukanlah beragama Hindu ataupun Buddha. Hindu Buddha hanyalah filosofi bagi mereka yang berarti HINDU= saat dalam kandungan dan BUDDHA = saat setelah kelahiran, sedangkan DAYAK sendiri berarti “diayak” jadi secara garis besar dapat ditarik kesimpulan mereka adalah komunitas yang telah diayak/disaring/dipilih oleh alam.


Keinginan mereka untuk mengenal HINDU menggugah kami “Remaja Utara” untuk memfasilitasi. Hingga terbentuklah panitia kecil yang terdiri dari beberapa sukarelawan, meski sempat terseok lantaran terbatasnya dana, namun akhirnya kami berhasil berkat dukungan para sahabat yang juga peduli.


Kami memanfaatkan moment Upacara Mlaspas Pura Budaya Jaya Sangga Buana untuk merealisasi keinginan Suku Dayak Bumi Segandu.


Jumat, 25 Januari 2008 tepat pukul 21.00 WIB. kami berangkat dari Pura Segara Jakarta Utara menuju Losarang-Indramayu dengan bus pariwisata. Berbagai “rasa” berkecamuk dalam hati saat itu, belum terbayang bagaimana terkejutnya umat di Jawa nanti saat tahu ada komunitas dayak diantara mereka.


Bus melaju dengan pasti lantaran kemudi dipegang oleh sopir yang handal. Lubang-lubang yang mengangapun berhasil dihindari tanpa mengganggu kenyamanan kami. Disela kesibukan sopir mengendalikan kemudi, kamipun asyik mendengarkan kidung-kidung yang dilantunkan oleh Romo Jati dan saudara-saudara dari Suku Dayak Bumi Segandu secara bergantian. Saking asyiknya kantuk pun terlupakan. Suasana akrab penuh kasih persaudaraan baluri jiwa hingga lelah raga tak lagi kami hiraukan.


Sabtu, tepat tengah hari, kami tiba di Klaten dan singgah di Candi Banyunibo. Setelah Tri Sandya, panca sembah dan MEDITASI kamipun berdharma tula, saling berbagi pengalaman dalam nuansa saling asih, saling asah dan saling asuh yang dipandu oleh Romo Jati. Setelahnya kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Pura Budaya Jaya Sangga Buana.


Menjelang senja kami tiba di PURA yang terletak di Desa Jabung Kec. Ganti Warno Klaten Jawa Tengah. Setelah menyantap hidangan yang disediakan panitia kamipun segera membaur dengan umat untuk “ngayah” guna melengkapi sarana untuk upacaya mlaspas esok hari. Sebagian dari kami membuat “pajegan” dan sebagian lagi membuat hiasan dari janur ada juga yang membantu menata sesaji.


Keesokan harinya, Upacara Mlaspas digelar dengan Manggala Upacara Romo Pandita Puja Brata Sejati (Romo Jati). Semua berjalan indah, meski Pura Budaya Jaya Sangga Buana terbilang Pura yang sederhana lantaran hanya “disungsung” oleh 5 KK (puluhan lainnya sudah berpindah agama-karena kurangnya pembinaan), namun umat yang hadir saat itu tidak kurang dari 300 jiwa yang berasal dari berbagai desa di kecamatan Ganti Warno dan sekitarnya. Hadir pula saat itu Pedanda Sebali dari Tianyar BALI dan ketua Parisadha Klaten.


Sekitar pukul 14.15 WIB. upacarapun selesai, umat satu persatu beranjak meninggalkan pelataran PURA. Kamipun segera berkemas untuk kembali menuju Jakarta. Dalam perjalanan pulang kami sempatkan mengunjungi Pura Dharma Putra yang terletak di desa Jiwan (masih diwilayah Klaten). Menurut informasi yang kami dapat, umat didesa ini mencapai lebih dari 400KK, namun sayang karena sepertinya jarang ada pejabat setempat ataupun pusat yang melakukan pembinaan di desa ini.


Perjalanan pulang lebih banyak kami lalui dengan diam, bukan lantaran lelah semata, namun terbersit tanya akan asa yang entah akankah dapat terwujud. MUNGKINKAH IMPIAN akan JAYA-nya HINDU akan segera terwujud bila PEMBINAAN terhadap umat-umat terpencil diABAIKAN?


Tepat Jam 00.48 WIB dinihari, kami tiba di Losarang. Rasa haru baluri jiwa kala mesti berpisah dengan saudara-saudara kami Suku Dayak Bumi Segandu. Dan sekitar jam 05.05 WIB. kamipun tiba dengan selamat di Pura Segara Jakarta Utara dan segera bergegas ke lokasi masing-masing untuk kembali melakukan aktivitas rutin.


By: Den Mas Bagus Dhika

March 18, 2008

Bakti Sosial Sebagai Langkah Nyata Penerapan Ajaran TRI HITA KARANA

Masih dalam rangkaian kegiatan “NYEPI” Minggu, 16 Maret 2008 digelar BAKTI SOSIAL yang berupa Pengobatan Masal-GRATIS, yang diselenggarakan di Pura SEGARA tepatnya di Pelataran Balai Duka. Tidak kurang dari 300 orang hadir untuk mendapatkan pelayanan pengobatan gratis. Meski pada awal dibukanya acara terjadi sedikit kesemrautan, namun berkat kesigapan Panitia yang dibantu personil-personil muda KPSHD yang dikomandoi oleh I Wayan Tirta, serta dukungan penuh dari para sukarelawan semuanya dapat berjalan dengan lancar.


Panasnya udara kala itu, tak membuat para dokter-dokter muda nan handal itu mengeluh. Sambil sesekali menyeka peluh salah seorang dokter yang sempat menjadi aktifis di Jakarta Utara ‘dr. Nyoman Adiarthabara’ tetap mampu melayani para pasiennya dengan ramah, pun demikian dengan para dokter dan suster lainnya, semuanya bekerja tanpa pamrih, berbekal sebuah landasan “CINTA” mereka bekerja bahu membahu melayani masyarakat.


Semoga wujud kebersamaan ini senantiasa terpelihara, semoga perbedaan tak menjadikan aura KASIH terkotak-kotak, semoga hubungan manusia dan TUHAN-nya, hubungan manusia dan manusia serta hubungan manusia dengan alam lingkungannya tertata dengan INDAH diatas dasar KASIH semata.







By: Den Mas Bagus Dhika

January 23, 2008

GALUNGAN

  • gundahku meraja
  • kala nikmati kesendirian
  • ditepian pantai Pura Segara
  • esok perayaan Galungan akan digelar
  • sebagai peringatan kemenangan dharma atas adharma
  • sementara aku sadar sepenuhnya
  • langkahku masih sarat dengan 'kotoran'-adharma
  • 'kama' dan 'loba' masih setia hiasi raga dan jiwa
  • duh Dewa Jagad Batara
  • layakkah aku merayakan kemenangan ini?
  • buat saudara-saudaraku yang telah berhasil menggapai kemenangan
  • dengan segenap ketulusan jiwa kuucapkan
  • SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN

  • -By. Den Mas Bagus Dhika-

January 18, 2008

Barong Mana Yang Lebih Sakti

Nang Lecir adalah seorang pengerajin barong yang sangat terkenal. Dia telah menerima banyak pesanan dari berbagai desa yang menjadikan barong sebagai atribute penting dalam kaitan ritualnya. Mungkin karena salah menghitung pesanan, seekor barong masih tersisa dan Nang Lecir menjadikannya semacam maskot. Barong ini dipajang dan digantung disamping rumahnya yang sekaligus merupakan workshop and showroomnya.


Belakangan ini terjadi kejadian-kejadian yang menghebohkan, banyak barong, pretima dan patung-patung batu antik di pura-pura yang disatroni pencuri. Sudah banyak perhiasan Ratu Gede, Ratu Niang, Ratu Alit, Ratu Lingsir dan pretima yang dicongkel oleh para pencuri.


Si Lengeh berjalan sambil berguman seorang diri. “Bukankah barong-barong yang dibeli dari Nang Lecir itu sudah dipelaspas dan dipasupati dengan upacara lengkap, semestinya sudah menjadi dewa, demikian juga dengan pretima-pretima itu, namun kenapa pencuri-pencuri bisa mempreteli dan menggasaknya? Apakah dewa-dewa ini tidak memiliki sakti.” Si Lengeh menggeleng-gelengkan kepalanya, pertanda dia bingung.

Karena ulah pencuri-pencuri ini maka seluruh warga didesa-desa serempak mengadakan penjagaan ketat disetiap pura-pura. Bukan hanya itu, tempat-tempat penyimpanan barong dan pretima-pretima bahkan dibuatkan kunci double malah ada yang dilengkapi dengan system alarm otomatis katanya. Bukan main cara orang desa dalam menanggulangi masalah pencurian ini. Agar mereka kuat begadang, maka digelar juga sistem terpadu dengan permainan judi ceki, domino dan santhi sekalian menggali dana. Sistem ini bagaikan sambil menyelam minum air sekalian menangkap ikan dan udang dibalik batu.

Dari tindakan siskamling yang terpadu ini, para pencuri tidak dapat melakukan operasinya lagi. Maka si pencuri melirik barong maskotnya Nang Lecir yang digantung disamping rumahnya tanpa ada penjagaan sama sekali. Si pencuri menyatroni rumah Nang Lecir dan mendekati barongnya yang tergantung. Suasana sangat sepi, maklum sudah jam 01.11, semua penghuni dirumah Nang Lecir sudah lelap. Ketika si pencuri akan mulai melakukan aksinya yaitu mencongkel perhiasan dikeningnya, tiba-tiba mata barong itu berkedip-kedip. Bayangkan sipencuri yang tak pernah mengenal takut melintasi gelapnya malam, sontak terkejut dan lari pontang-panting. Berita angin ini juga membuat si Lengeh berhari-hari gelang-geleng dan berguman, “barong mana yang lebih sakti nich yee! Barongnya Nang Lecir atau nyang....mana?”
Didesa tua yang penuh dengan orang-orang, tetapi kosong dari hati nurani--manusia telah menciptakan kelompok-kelompok dengan kurungan masing-masing. Dan didalam kurungannya mereka juga membuat sekat-sekat pemisah antara desa yang satu dengan yang lainnya. Mereka membuat atribute, simbol-simbol yang kemudian disakralkan dengan suatu ritual dan menganggapnya telah menjadi dewa yang akan dapat melindungi diri mereka. Demikianlah mereka memuja dewa-dewa khayalannya dengan melakukan berbagai macam upacara yang benar menurut mereka.

Si Lengeh berhari-hari gelang-geleng, berpikir tentang kenyataan yang ada, namun tak dapat menemukan jawaban, maklum otak si Lengeh pas-pasan. Kenapa orang-orang didesa tua melakukan kegiatan-kegiatan itu? Apakah dasar dari tindakan mereka? Adakah mereka benar-benar telah mendapat perlindungan atau berkah dari artribute dan ritual yang dilakukan? Pernahkah orang mempertanyakan kepada dirinya, dan apakah mereka menemukan jawaban yang sejujurnya? Setiap orang tentu mempunyai jawaban yang berbeda. Namun orang mesti sungguh jujur, untuk dapat menemukan jawabannya. Kenapa mereka membuat simbol-simbol dan memujanya?...... Kenapa?


Jika orang sungguh-sungguh jujur, dia akan menemukan yaitu, karena dalam dirinya ada rasa takut, bukan? Karena mereka tidak berani menghadapi hidup seperti apa adanya, mereka mencari perlindungan. Bentuk perlindungan ini di ciptakan sendiri, mereka rekayasa sedemikian rupa, dengan ornamen ritual dengan segala sublimasinya agar kepercayaannya semakin mantap. Bukankah itu yang telah lakukannya?


Jika orang jujur, diapun akan melihat kehidupan dengan jelas, termasuk ketakutan yang ada dalam dirinya. Tetapi selama ini orang tak pernah jujur dan mempertanyakan, mereka menganggap dan meyakini bahwa apa yang dilakukan sudah benar, wajib hukumnya, apalagi jika hal itu diperintahkan oleh sang sulinggih yaitu orang yang telah dianggap tahu.Namun dari kenyataan yang ada, hidupnya masih terbelenggu oleh penderitaan, kecemasan, kebingungan, kemiskinan, kemalangan, keserakahan, persaingan, kebencian, ketakutan dan lain-lainnya. Tetangga si Lengeh mengeluh, “Suba keto abet mapinunas, nu keweh, apabuin sing ngawe aturang, meh metulu-tulu geringe teka.”(sudah sedemikian melakukan ritual dan doa, masih susah apalagi tidak melakukan itu, bisa-bisa musibah datang tak henti-hentinya). Tetangga ini tentu memiliki kepercayaan dan juga rasa takut yang kuat.

Kepercayaan timbul dari rasa takut. Semakin kuat kepercayaan pada sesuatu, semakin kuat juga rasa takut itu. Jika orang tidak dapat melihat dan memahami hal ini, maka setiap tindakan apapun yang dilakukannya tentu bersumber dari rasa takutnya, dan tindakan ini akan menghasilkan rasa takut semakin kuat, dan kuat yang akan mengikatnya semakin erat pada kepercayaannya. Dengan demikian, dia tak dapat belajar untuk menemukan kebebasan.Karena itu orang harus belajar melihat dengan jujur. Belajar adalah memperhatikan, mengamati, menyelidiki, mempertanyakan, menyangsikan, meragukan, sehingga mereka sampai pada suatu pemahaman. Dengan dipahaminya rasa takut itu, maka diapun bebas darinya, bebas dari kepercayaan dan semua sublimasinya.


Apakah itu kebebasan? Kebebasan disini bukanlah bebas berbuat apa saja, semau gue, namun orang secara batiniah mesti bebas yaitu bebas dari rasa takut, yang berarti bebas dari kepercayaan, dogma, otoritas dan sebagainya. Dengan demikian barangkali hal ini dapat membawa orang pada demensi belajar yang berbeda, yaitu semata mengamati, tanpa keterlibatan emosionalnya. Namun jika orang terkondisi secara psikolog oleh rasa takut dan kepercayaan, maka dia tak’an dapat melihat kehidupan secara utuh, karena semua bentuk pengaruh atau intervensi dari satu otoritas, metode atau doktrin apapun membuat batin tidak jernih, menjadi tumpul dan kehilangan energi.


Orang mesti belajar dengan jujur mengamati dirinya dan keterlibatannya dengan kehidupan disekitar. Bagaimana kecemasan, kesedihan, keputus-asaan, kemarahan, kejengkelan, penderitaan dan sebagainya itu muncul dalam dirinya. Amati saja! Hendaklah jangan memberi penilaian, mengadili, membenarkan ataupun menyalahkan, maka segalanya terlihat dengan jelas. Hal ini awalnya mungkin membingungkan dan terasa berat karena orang tak biasa melihat dengan benar yaitu hanya mengamati. Selama ini orang selalu terlibat secara emosional dalam melihat, karena itu diapun tidak melihat, dan oleh karena itu mereka tak pernah bebas dari rasa takut. Jika tak ada rasa takut dalam diri, maka kepercayaanpun tidak ada, dan barulah orang dapat belajar, maka diapun melihat, diapun memahami!
---------------------------------
Dipetik dari milis Hindu Dharma
kiriman Bp. Wayan Windra
---------------------------------