January 23, 2008

GALUNGAN

  • gundahku meraja
  • kala nikmati kesendirian
  • ditepian pantai Pura Segara
  • esok perayaan Galungan akan digelar
  • sebagai peringatan kemenangan dharma atas adharma
  • sementara aku sadar sepenuhnya
  • langkahku masih sarat dengan 'kotoran'-adharma
  • 'kama' dan 'loba' masih setia hiasi raga dan jiwa
  • duh Dewa Jagad Batara
  • layakkah aku merayakan kemenangan ini?
  • buat saudara-saudaraku yang telah berhasil menggapai kemenangan
  • dengan segenap ketulusan jiwa kuucapkan
  • SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN

  • -By. Den Mas Bagus Dhika-

January 18, 2008

Barong Mana Yang Lebih Sakti

Nang Lecir adalah seorang pengerajin barong yang sangat terkenal. Dia telah menerima banyak pesanan dari berbagai desa yang menjadikan barong sebagai atribute penting dalam kaitan ritualnya. Mungkin karena salah menghitung pesanan, seekor barong masih tersisa dan Nang Lecir menjadikannya semacam maskot. Barong ini dipajang dan digantung disamping rumahnya yang sekaligus merupakan workshop and showroomnya.


Belakangan ini terjadi kejadian-kejadian yang menghebohkan, banyak barong, pretima dan patung-patung batu antik di pura-pura yang disatroni pencuri. Sudah banyak perhiasan Ratu Gede, Ratu Niang, Ratu Alit, Ratu Lingsir dan pretima yang dicongkel oleh para pencuri.


Si Lengeh berjalan sambil berguman seorang diri. “Bukankah barong-barong yang dibeli dari Nang Lecir itu sudah dipelaspas dan dipasupati dengan upacara lengkap, semestinya sudah menjadi dewa, demikian juga dengan pretima-pretima itu, namun kenapa pencuri-pencuri bisa mempreteli dan menggasaknya? Apakah dewa-dewa ini tidak memiliki sakti.” Si Lengeh menggeleng-gelengkan kepalanya, pertanda dia bingung.

Karena ulah pencuri-pencuri ini maka seluruh warga didesa-desa serempak mengadakan penjagaan ketat disetiap pura-pura. Bukan hanya itu, tempat-tempat penyimpanan barong dan pretima-pretima bahkan dibuatkan kunci double malah ada yang dilengkapi dengan system alarm otomatis katanya. Bukan main cara orang desa dalam menanggulangi masalah pencurian ini. Agar mereka kuat begadang, maka digelar juga sistem terpadu dengan permainan judi ceki, domino dan santhi sekalian menggali dana. Sistem ini bagaikan sambil menyelam minum air sekalian menangkap ikan dan udang dibalik batu.

Dari tindakan siskamling yang terpadu ini, para pencuri tidak dapat melakukan operasinya lagi. Maka si pencuri melirik barong maskotnya Nang Lecir yang digantung disamping rumahnya tanpa ada penjagaan sama sekali. Si pencuri menyatroni rumah Nang Lecir dan mendekati barongnya yang tergantung. Suasana sangat sepi, maklum sudah jam 01.11, semua penghuni dirumah Nang Lecir sudah lelap. Ketika si pencuri akan mulai melakukan aksinya yaitu mencongkel perhiasan dikeningnya, tiba-tiba mata barong itu berkedip-kedip. Bayangkan sipencuri yang tak pernah mengenal takut melintasi gelapnya malam, sontak terkejut dan lari pontang-panting. Berita angin ini juga membuat si Lengeh berhari-hari gelang-geleng dan berguman, “barong mana yang lebih sakti nich yee! Barongnya Nang Lecir atau nyang....mana?”
Didesa tua yang penuh dengan orang-orang, tetapi kosong dari hati nurani--manusia telah menciptakan kelompok-kelompok dengan kurungan masing-masing. Dan didalam kurungannya mereka juga membuat sekat-sekat pemisah antara desa yang satu dengan yang lainnya. Mereka membuat atribute, simbol-simbol yang kemudian disakralkan dengan suatu ritual dan menganggapnya telah menjadi dewa yang akan dapat melindungi diri mereka. Demikianlah mereka memuja dewa-dewa khayalannya dengan melakukan berbagai macam upacara yang benar menurut mereka.

Si Lengeh berhari-hari gelang-geleng, berpikir tentang kenyataan yang ada, namun tak dapat menemukan jawaban, maklum otak si Lengeh pas-pasan. Kenapa orang-orang didesa tua melakukan kegiatan-kegiatan itu? Apakah dasar dari tindakan mereka? Adakah mereka benar-benar telah mendapat perlindungan atau berkah dari artribute dan ritual yang dilakukan? Pernahkah orang mempertanyakan kepada dirinya, dan apakah mereka menemukan jawaban yang sejujurnya? Setiap orang tentu mempunyai jawaban yang berbeda. Namun orang mesti sungguh jujur, untuk dapat menemukan jawabannya. Kenapa mereka membuat simbol-simbol dan memujanya?...... Kenapa?


Jika orang sungguh-sungguh jujur, dia akan menemukan yaitu, karena dalam dirinya ada rasa takut, bukan? Karena mereka tidak berani menghadapi hidup seperti apa adanya, mereka mencari perlindungan. Bentuk perlindungan ini di ciptakan sendiri, mereka rekayasa sedemikian rupa, dengan ornamen ritual dengan segala sublimasinya agar kepercayaannya semakin mantap. Bukankah itu yang telah lakukannya?


Jika orang jujur, diapun akan melihat kehidupan dengan jelas, termasuk ketakutan yang ada dalam dirinya. Tetapi selama ini orang tak pernah jujur dan mempertanyakan, mereka menganggap dan meyakini bahwa apa yang dilakukan sudah benar, wajib hukumnya, apalagi jika hal itu diperintahkan oleh sang sulinggih yaitu orang yang telah dianggap tahu.Namun dari kenyataan yang ada, hidupnya masih terbelenggu oleh penderitaan, kecemasan, kebingungan, kemiskinan, kemalangan, keserakahan, persaingan, kebencian, ketakutan dan lain-lainnya. Tetangga si Lengeh mengeluh, “Suba keto abet mapinunas, nu keweh, apabuin sing ngawe aturang, meh metulu-tulu geringe teka.”(sudah sedemikian melakukan ritual dan doa, masih susah apalagi tidak melakukan itu, bisa-bisa musibah datang tak henti-hentinya). Tetangga ini tentu memiliki kepercayaan dan juga rasa takut yang kuat.

Kepercayaan timbul dari rasa takut. Semakin kuat kepercayaan pada sesuatu, semakin kuat juga rasa takut itu. Jika orang tidak dapat melihat dan memahami hal ini, maka setiap tindakan apapun yang dilakukannya tentu bersumber dari rasa takutnya, dan tindakan ini akan menghasilkan rasa takut semakin kuat, dan kuat yang akan mengikatnya semakin erat pada kepercayaannya. Dengan demikian, dia tak dapat belajar untuk menemukan kebebasan.Karena itu orang harus belajar melihat dengan jujur. Belajar adalah memperhatikan, mengamati, menyelidiki, mempertanyakan, menyangsikan, meragukan, sehingga mereka sampai pada suatu pemahaman. Dengan dipahaminya rasa takut itu, maka diapun bebas darinya, bebas dari kepercayaan dan semua sublimasinya.


Apakah itu kebebasan? Kebebasan disini bukanlah bebas berbuat apa saja, semau gue, namun orang secara batiniah mesti bebas yaitu bebas dari rasa takut, yang berarti bebas dari kepercayaan, dogma, otoritas dan sebagainya. Dengan demikian barangkali hal ini dapat membawa orang pada demensi belajar yang berbeda, yaitu semata mengamati, tanpa keterlibatan emosionalnya. Namun jika orang terkondisi secara psikolog oleh rasa takut dan kepercayaan, maka dia tak’an dapat melihat kehidupan secara utuh, karena semua bentuk pengaruh atau intervensi dari satu otoritas, metode atau doktrin apapun membuat batin tidak jernih, menjadi tumpul dan kehilangan energi.


Orang mesti belajar dengan jujur mengamati dirinya dan keterlibatannya dengan kehidupan disekitar. Bagaimana kecemasan, kesedihan, keputus-asaan, kemarahan, kejengkelan, penderitaan dan sebagainya itu muncul dalam dirinya. Amati saja! Hendaklah jangan memberi penilaian, mengadili, membenarkan ataupun menyalahkan, maka segalanya terlihat dengan jelas. Hal ini awalnya mungkin membingungkan dan terasa berat karena orang tak biasa melihat dengan benar yaitu hanya mengamati. Selama ini orang selalu terlibat secara emosional dalam melihat, karena itu diapun tidak melihat, dan oleh karena itu mereka tak pernah bebas dari rasa takut. Jika tak ada rasa takut dalam diri, maka kepercayaanpun tidak ada, dan barulah orang dapat belajar, maka diapun melihat, diapun memahami!
---------------------------------
Dipetik dari milis Hindu Dharma
kiriman Bp. Wayan Windra
---------------------------------

January 16, 2008

Akuilah Sejujurnya

  • Jangan katakan "Karena udaranya dingin makanya aku memakai jaket tebal ini", tapi akuilah sejujurnya kalau karena Anda 'Tidak Suka' kedinginan makanya Anda mengenakan jaket tebal itu.
  • Kita memang cenderung berdalih, mencari alasan dan pembenaran, kambing-hitam, atas apa yang kita perbuat. Kita jarang mengakui kesalahan kita, kekeliruan, kecerobohan, ketidak-senonohan kita, dan sebagai gantinya kita menimpakannya pada yang lain, yang kita anggap sebagai 'bukan diri kita.'
  • Ini sudah bukan rahasia lagi.
---------------------------
Diadopsi dari milis BeCeKa
Penulis: Bp. Ngestoe Rahardjo
--------------------------------------

AkU SiPeMbUaL

  • kala mata sulit dipejamkan
  • saat gelisah mendera jiwa
  • ketika resah mengobok sukma
  • kucoba tengok 'aku' yang berada dalam diri
  • bibirku sering mengucap kata DHARMA
  • jemariku senantiasa menuliskan keagungan HINDU
  • dan anganku seringkali melambung membayangkan Ajaran Luhur
  • yang kelak akan meraja di bumi Nusantara
  • namun hanya sebatas itu,
  • sebatas kata,
  • sebatas goresan jemari tangan,
  • sebatas angan,
  • sementara belum banyak yang aku lakukan
  • karenanya layaklah aku disebut 'si pembual'
  • By : Den Mas Bagus Dhika