October 2, 2008




Pura Dang Kahyangan Gunung Payung
Pura Gunung Payung yang berlokasi di kaki Pulau Bali dipercaya sebagai benteng spiritual Bali di kawasan selatan, sehingga bisa terlindungi dari berbagai bencana.
Terjangan ombak Samudera Indonesia tiada bosan menghias laut di kawasan pantai selatan Bali, tepatnya di tepian tenggara Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, sore pertengahan Juli silam. Gulungan ombak itu sesekali menerjang tebing batu karang, di lain waktu berserakan sebelum sampai di bibir pantai. Hari bertambah senja, suasana pantai di ujung selatan Bali ini semakin memesona seiring kemunculan bulan Purnama di ufuk timur. Perlahan bulan bulat sempurna yang memancarkan sinar putih nan lembut itu meninggi dan meninggi lagi. Sinar rembulan yang awalnya hanya sebagian menyinari lautan nan biru, perlahan mulai terpencar ke berbagai penjuru. Di sudut lain, para petani bulung (rumput laut) yang sedari pagi bergumul dengan hasil panennya, mulai sibuk mengumpulkan rumput laut. Mereka tentu tak ingin rumput laut yang sudah mulai mengering itu kembali membusuk hanya karena terlambat memindahkan ke tempat teduh. Tak jauh dari lokasi para petani rumput laut itu, tepatnya pada satu pura di atas tebing teguh batu karang, puluhan orang tiada kalah sibuk. Orang-orang berbusana adat Bali tersebut silih berganti keluar masuk tempat suci. Ada yang membawa canang ceper bersaranakan bunga saja, tak jarang pula menghaturkan banten yang dilengkapi beraneka kue dan buah-buahan “Saban Purnama-Tilem dan hari-hari suci Hindu lainnya, orang-orang memang banyak berdatangan ke pura sejak pagi,” Jero Mangku Alit, seorang warga Desa Kutuh. Pura Gunung Payung atau Bukit Payung, begitu nama tempat suci yang berlokasi di tanjung Kutuh tersebut. Lumrahnya tempat suci yang tersebar di seantero Bali, Pura Gunung Payung pun pada hari-hari suci, terlebih lagi di hari bulan Purnama, seperti Purnama Kasa (bulan pertama sesuai kalender Bali), memang sering dimanfaatkan orang Bali untuk datang (tangkil), hendak bersujud ke hadapan Ida Batara penguasa di pura ini. Dulu, sebut Jero Mangku Alit, warga yang datang umumnya di seputaran Desa Kutuh, Ungasan, dan Sawangan, Nusa Dua. Ketika transportasi semakin lancar, sebut Bandesa Pakraman Kutuh, I Wayan Litra, pamedek yang datang bersujud di hadapan Ida Batara penguasa Pura Gunung Payung, bukan hanya datang dari warga Desa Kutuh. Tak jarang yang hadir adalah orang-orang dari luar desa, seperti dari Badung Utara, Denpasar, Gianyar, Klungkung, Tabanan bahkan juga dari luar Bali. “Saya tidak tahu secara mendetail sejarah keberadaan Pura Gunung Payung,” ujar Jero Mangku Musir, pamangku Pura Gunung Payung. Hanya, dari cerita para panglingsir di Kutuh, di dapat informasi Pura Gunung Payung konon ada hubungan dengan perjalanan suci Ida Padanda Sakti Wawu Rauh. Pura yang sesuai disuratkan Jero Mangku Soebandi dalam buku berjudul Pembangunan Pura-Pura Di Bali, terbitan Kayu Mas Agung, Denpasar, bahwa pura yang memiliki luas sekitar 10 are dengan laba pura seluas 15 hektar, berkaitan erat dengan perjalanan Danghyang Nirartha saat menyusuri tepian selatan pulau Bali. Dikisahkan Soebandi, bahwa sesudah Danghyang Nirartha atau lumrah pula disebut Ida Padanda Sakti Wawu Rauh usai membangun parhyangan di Uluwatu— pura ini berlokasi di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung—, warga setempat dikumpulkan kemudian diberi petunjuk serta wejangan agar menjaga serta memelihara pura Uluwatu.Selesai memberi nasehat, sang rohaniwan melanjutkan perjalanan suci menuju arah timur. Melewati jalan setapak berbukit-bukit yang dipenuhi bebatuan. Hingga sampai pada satu goa yang belakangan dikenal dengan nama Goa Watu. Dari goa itu Danghyang Nirartha meneruskan langkah, melanjutkan perjalanan mengelilingi tepian pantai Bali selatan dengan tujuan pertamanya menuju satu tempat yang sekarang bernama Desa Bualu.Tiba di tengah perjalanan, tepatnya pada sebuah tanjung, sang rohaniwan istirahat sambil menancapkan tangkai payung ke tanah. Tak diduga dari tanah bekas tancapan tangkai payung tadi ternyata keluar air jernih. Air itu kemudian dipakai membersihkan diri guna mengembalikan kesegaran tubuhnya setelah melakukan perjalanan cukup melelahkan. Bagi warga sekitar, munculnya air mancur dari tanah bekas tongkat yang ditancapkan tersebut menumbuhkan rasa gembira. Sejak saat itu pula mereka mmperoleh air penghidupan yang dianggap sebagai tirta amerta. Satu anugerah dari Hyang Maha Kuasa. Sebagai pertanda rasa bahagia, warga selanjutnya membangun satu tempat suci sebagai tempat memuliakan sekaligus memuja Hyang Widhi, dinamakan Pura Gunung Payung atau lumrah pula disebut Bukit Payung. Setelah cukup waktu berdiam di tebing nan indah itu, Dang Hyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara, menyusuri pantai. Beberapa saat setelah melakukan perjalanan, sang rohaniwan menemukan dua buah pulau batu yang kelak bernama Nusa Dua. Di tempat ini rohaniwan dari Jawa Timur ini beristirahat, sambil menyusun kakawin berjudul. Anyang Nirartha, satu karya sastra berkisah tentang keindahan alam yang ditemukan sepanjang melakukan perjalanan suci di Bali selatan. Kisah mitoligi perjalanan Danghyang Dwijendra yang berkembang di masyarakat Kutuh dan sekitarnya, selama ini memang menjadi rujukan utama keberadaan Pura Gunung Payung. Belum ditemukan tinggalan prasasti ataupun benda-benda bersejarah lain yang dapat dipakai sebagai pertanda lain, kecuali sebuah palinggih tirta yang diyakini menjadi pertanda ketika pertama kali Danghyang Dwijendra hadir di puncak bukit ini. Dalam sejumlah kakawin, termasuk Kakawin Anyang Nirartha yang merekam kisah perjalanan dan perenungan pendeta yang juga pencipta karya susastra kakawin di seputar kaki Pulau Bali, Mpu Nirartha memang sempat melukiskan jelas keindahan alam di Bali selatan. Dia begitu mendalam terpesona oleh keindahan pesisir Bali berpasir putih ini. Panorama alam berupa deburan ombak berbuih putih, kokokan ayam hutan, lekuk-liku kelokan teluk, onggokan batu karang berketinggian curam, hingga bongkahan-bongkahan daratan pulau-pulau alit kerap dibayangkan dan dimaknai sebagai ritus diri sang pendeta manakala melakukan pemujaan dengan samadi kehadapan Hyang Mahasuci.
Purohita Kerajaan Gelgel ini memang kerap disebut-sebut berjalan menyusuri pesisir Bali, dari ujung barat ke selatan, kemudian menuju arah timur, hingga ke utara. Dalam perjalanannya sang pendeta gemar menyinggahi pura. Selain Pura Gunung Payung, ada beberapa pura yang kini termasuk wilayah Kabupaten Badung sempat disinggahi pendeta ini, antara lain: Pura Uluwatu, Goa Gong, Batu Pageh, Pura Geger, dan Goa Batu Matandal. Kemudian Pura Petitenget di Kuta, Pura Sada di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, serta Pura Pucak Tedung di Desa Sulangai, Kecamatan Petang. Cerita di masyarakat yang sempat direkam Jero Mangku Musir, konon antara Gunung Payung di Kutuh dengan Pucak Tedung di Petang, ada hubungan erat. Di Gunung Payung Danghyang Nirartha menancapkan tangkai payung hingga keluar air, sedangkan di Pucak Tedung tertambat payungnya. Sumber-sumber ilmiah formal sebagai bukti keberadaan Pura Bukit Payung atau Gunung Payung memang tiada mudah mendapatkan, toh tempat suci yang diempon warga Desa Kutuh ini tetap diposisikan sebagai pura penting di pesisir selatan Bali. Semakin hari pura yang puncak upacara (piodalan)-nya jatuh pada Purnama Kawulu (bulan kedelapan sesuai kalender Bali) ini tetap saja dibanjiri pamedek. Selama piodalan, kata Wayan Litra hampir selalu dipenuhi pamedek. “Piodalan di sini sekarang berlangsung tiga hari,” sebutnya. Dulu, sebelum menyandang status sebagai Pura Dangkahyangan, upacara hanya dua hari. Selain palinggih Tirta yang di dalamnya ada sumur, lamat-lamat di Pura Gunung Payung juga berkembang bangunan suci lain sebagai pelengkap. Palinggih yang berada di areal jeroan, mandala paling dalam, pada sisi timur ada Padmasana sebagai stana Hyang Mahatunggal, Hyang Widhi, lengkap dengan tatahan Badawangnala (simbolik api magma Bumi) dan belitan naga Anantabhoga (simbolik lapisan tanah) bersama Naga Basuki (simbolik lapisan air). Di selatan padmasana berdiri meru tumpang (tingkat) tiga sebagai stana Mpu Nirartha. Di sebelahnya ada palinggih gedong dan paling ujung selatan terdapat palinggih Tugu Penyarikan.Di depan Padmasana terdapat sumur suci yang dikelilingi tembok panyengker. Air yang ada di sumur inilah kini menjadi sumber tirta (air suci). Bila ada warga yang mohon tirta kakuluh saat tangkil ke pura atau dipergunakan sebagai sarana waktu ngeteg linggih, maka dimohonkan pada air suci di sumur. Di belakang palinggih tirta ada gedong panyawangan Ida Batara di Gunung Agung, Gunung Batur, dan Manik Galih.Masih berdasarkan kisah yang didapat Wayan Litra dari para moyangnya, bahwa wilayah ini dulunya amatlah kering, maka Danghyang Nirartha beserta masyarakat mohon agar Ida Batara di Gunung Agung, Gunung Batur, dan Ida Batari Manik Galih memberikan berkah, sehingga kesuburan itu pun terjadi. Sebagai rasa sujud bakti warga atas berkah yang diberikan, maka warga memabngun satu gedong sari di Gunung Payung untuk ngayat ketika manifestasi Tuhan itu.Pura Gunung Payung memang menyimpan banyak kisah mitos. Di samping menyajikan segudang keindahan serta ketenangan yang terasa amat sempurna sekaligus mampu menghadirkan suasana begitu sunyi, hening, dan bening.Air Kehidupan di Kaki BaliAnda pernah mendengar nama Pura Gunung Payung atau Bukit Payung yang berlokasi di Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung? Jika pernah, barangkali hanya mengetahui bahwa kini status pura yang berlokasi di ujung tenggara Desa Kukuh ini, telah resmi berstatus sebagai pura dangkahyangan. Satu tempat suci yang sempat menjadi persinggahan Danghyang Nirartha, seorang rohaniwan suci dari Jawa yang banyak menebar ajaran-ajaran kesucian di Bali.Dan, setelah resmi menjadi pura dangkahyangan sejak tahun 2005, urai Bandesa Pakraman Kutuh I Wayan Litra, pura yang lokasinya di tepian tebing batu karang pantai selatan Bali itu semakin sering didatangi orang-orang dari berbagai daerah. Selain acap dikunjungi para penguasa, pejabat tinggi di daerah, para pengusaha, dalam amatan Jero Mangku Musir, Pamangku Pura Gunung Payung, ternyata banyak pula didatangi warga yang sedang mengalami penderitaan (sakit). Tempat suci ini katanya, bukan pura bagi para balian. Toh, ada pula orang-orang yang datang tangkil untuk mohon kesembuhan. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan kelas masyarakat. Tak jarang orang yang tangkil umumnya disertai jero mangku dari desa bersangkutan. “Saya di sini paling menghaturkan sesaji. Saya bukan balian, tapi hanya sebagai penghubung serta mengantarkan bakti umat sesuai tujuan kedatangannya,” tegas Mangku Musir. Itu sebabnya, dia tak berani gegabah apalagi mengaku memiliki kemampuan menyembuhkan pasien.Setelah menghaturkan sesaji, maka rentetan selanjutnya, kebanyakan dilakukan para pamangku yang mengiringi waktu datang ke pura. Sesekali waktu Jero Mangku Musir iseng bertanya hingga orang bersangkutan harus mohon kesembuhan ke Pura Gunung Payung. Informasi yang diperoleh pun beragam, tapi umumnya para rohaniwan yang mengantar lebih banyak mengaku mendapat petunjuk dari alam niskala. Dalam petunjuk tersebut diingatkan supaya yang seang mengalami penderitaan diajak ke Pura Gunung Payung. Mengingat di pura ini tak ada tetanaman atau sarana khusus sebagai penyembuh, maka Mangku Mesir biasanya hanya memohonkan tirta di sumber air suci yang ada di depan palinggih Padmasana. Tirta itulah selanjutnya diberikan pada orang yang datang. Mangku Musir pun tak berani memastikan bahwa yang datang itu telah sembuh atau masih sakit. “Kalau kasidian (permohonannya terkabulkan), umumnya orang bersangkutan akan datang lagi ke pura. Mungkin membayar sesangi (kaul) yang pernah disampaikan waktu pertama kali datang,” Mangku Musir mengira-ngira.Sulit memungkiri memang, orang Bali dalam menggapai sesuatu termasuk membebaskan diri dari rajaman penyakit, tak hendak berhenti di jalur pengobatan medis. Langkah pengobatan alternatif baik lewat usada maupun niskala pun ditempuh. Tetap menjadi pilihan. Tempat yang dijadikan lokasi penyembuhan di samping balian juga memohon kepada Hyang Maha Agung di antaranya dengan pergi berobat ke Pura Dangkahyangan Gunung Payung. Satu tempat suci yang ada sumber mata airnya dan diyakini mampu memulihkan kesehatannya, menyucikan pikiran. NS