August 28, 2009

DIBALIK KEINDAHAN PURA GEGER


Di tengah kepungan riuh-pikuk bisnis pelancongan kawasan Nusa Dua dan sekitarnya, Pura Geger Dalem Pamutih berdiri kukuh, menebarkan pesona alami dari pesisir terselatan Bali. Debur ombak Samudera Indonesia tiada bosan menghias laut di kawasan Pantai Geger, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Gulungan ombak itu sesekali menerjang tebing batu karang, di lain waktu berserakan sebelum sampai di bibir pantai.Hari bertambah senja, suasana pantai di ujung selatan Bali ini semakin memesona seiring kemunculan bulan Purnama di ufuk timur. Perlahan bulan bulat sempurna yang memancarkan sinar putih nan lembut itu meninggi, terus meninggi menyinari biru lautan. Di sudut lain, para petani bulung (rumput laut) yang sedari pagi menjemur hasil panennya, mulai sibuk mengumpulkan rumput laut. Mereka tentu tak ingin rumput laut yang sudah mulai mengering itu kembali membusuk hanya karena terlambat memindahkan ke tempat teduh. “Kalau kena embun malam, rumput laut kembali basah dan bisa menurunkan mutu,” urai Nyoman Suriket, petani rumput laut dari Desa Geger. Tak jauh dari lokasi para petani rumput laut itu, tepatnya pada satu pura di atas onggokan teguh batu karang, puluhan orang tiada kalah sibuk. Orang-orang berbusana adat Bali tersebut silih berganti keluar masuk tempat suci. “Saban Puranama-Tilem orang-orang berdatangan ke pura sejak pagi,” tutur warga Desa Geger, Pan Mira. Pura Geger Dalem Pamutih, begitulah nama tempat suci berpagar tembok pasir hitam tersebut. Saat itu, bertepatan dengan Purnama Karo (Purnama pada bulan kedua dalam kalender Bali). Ini memang merupakan hari yang banyak dimanfaatkan orang Bali untuk datang (tangkil) ke tempat suci ini. Mereka tak terbatas warga sekitar kawasan Nusa Dua. Banyak pula pamedek luar Kelurahan Bualu, seperti dari Badung Utara, Denpasar, Tabanan, Gianyar, bahkan juga dari luar Bali. “Kepadatan mulai terasa,” kata Nyoman Repot, Pamangku Pura Geger Dalem Pamutih, “ketika dibuka akses jalan menuju ke pura, sekitar tahun 1990-an.” Pura Geger kini memang menjadi ‘incaran’ masyarakat dari berbagai lapisan. Ketika isu bencana alam merebak dan meresahkan relung sanubari penduduk Indonesia, termasuk Bali, Pemerintah Provinsi Bali juga menggelar upacara pakelem sebagai sarana memohon keselamatan di kawasan tempat suci ini. Pakelem itu digelar bertepatan dengan Tilem Kasada (bulan ke-12), bulan gelap terakhir di penghujung tahun dalam sistem kalender Bali, Minggu Pon wuku Tambir, 25 Juni 2006. Tengah malam, usai digelar upacara pakelem itu, Bali sempat digoyang gempa kecil—menyusul guncangan dahsyat yang menelan ribuan korban jiwa manusia maupun material, sebulan sebelumnya di Yogyakarta. Tak urung banyak yang mengira-ngira, andai pakelem itu telat dilabuhkan ke tengah samudera, bukan mustahil Bali bernasib lebih parah ketimbang Yogya dan sekitarnya. Di kalangan internasional memang ada yang suka mengutak-atik deretan angka enam sebagai isyarat musibah dahsyat. Kebetulan sehari usai pakelem tersebut digelar kalender Gregorian atau Masehi yang berlaku internasional itu memang menunjukkan deretan angka enam: 26-06-2006. “Saya dapat bisikan gaib Ida Batara, jika pakelem telat dilakukan, Bali bisa habis dilanda bencana pukul 06.00 tanggal 26 bulan 6 tahun 2006,” tutur Men Bukit, wanita sederhana yang kerap ngayah di Pura Geger. Banyak penekun spiritual layaknya Men Bukit: meyakini posisi Pura Geger Dalem Pamutih secara niskala begitu sentral sebagai basis pertahanan ujung selatan Bali. Pura di kaki Pulau Bali ini disebut-sebut satu poros dengan Pura Agung Besakih di lambung Gunung Agung di sisi utara dan Pura Panataran Ped, Nusa Penida, di sisi timurnya. Secara kasat mata Pura Geger ini memang membentuk segitiga tegak lurus dengan puncak Gunung Agung dan daratan Pulau Nusa Penida. Toh, tak mudah menemukan rujukan data otentik formal cikal bakal pendirian Pura Geger Dalem Pamutih ini. Warga sekitar mengira-ngira pura ini semula dibangun masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Adalah lazim di Bali kelompok masyarakat yang menggeluti profesi utama tak lupa pula menstanakan Tuhan dalam berbagai manifestasi. Dari alur pemikiran demikian akhirnya di Bali ada pura swagina, tempat pemujaan yang berkaitan dengan profesi. Pura Rambut Siwi atau Bedugul, misalnya, dikelola para petani buat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewi Uma atau Dewi Sri; Pura Melanting bagi para pedagang memuja Dewi Laksmi atau Rambut Sadana; lalu ada Pura Segara bagi para nelayan memuja Dewa Baruna atau Rudra, kekuatan Tuhan sebagai penguasa samudera. Tujuan pendirian tempat suci jenis ini jelas dalam kaitan mohon kepada manifestasi Tuhan, agar dalam menjalankan kegiatan diberikan keselamatan, berfungsi sebagai tempat memohon kesuburan, menggelar nangluk marana, sekaligus mengupayakan pamahayu jagat. Demikian halnya dengan keberadaan Pura Geger yang dari semula difungsikan sebagai tempat mohon kerahayuan. Itu terbukti dari adanya satu bangunan suci (palinggih) yang berada di sisi timur, sebagai stana Ida Batara Dalem Pamutih atau Ida Batara Dalem Segara. Gedong tersebut, pada pemugaran sekitar tahun 1990-an, diganti dengan meru tumpang tiga. Sebutan Dalem Pamutih di sini cukup mengasosiasikan ingatan kepada sifat Tuhan Yang Mahasuci, Mahabenar secara tradisi disimbolikkan dengan warna putih, tiada ternoda. Siwa atau Iswara sebagai kekuatan terpuncak juga kerap diperlambangkan berwarna putih bersih, tiada bernoda. Selain itu keberadaan pura nan asri ini juga kerap dikait-kaitkan dengan kisah perjalanan Danghyang Nirartha, maharsi dari Jawa Timur, yang bermigrasi ke Bali sekitar abad 15-16. Seperti ditulis dalam beberapa buku yang menjelaskan tentang pura berstatus dang kahyangan di Bali, sepeninggal dari tanah Jawa, Mpu Nirartha melakukan perjalanan suci ke sekeliling pesisir Pulau Bali sampai ke Sumbawa, sebelum akhirnya kembali lagi ke Bali. Pascabalik ke Bali, sebelum ngaluhur (moksa) di Pura Uluwatu, pada ujung barat laut kaki pulau alit ini, sang rohaniwan menyucikan diri, mengheningkan pikiran lewat jalan samadi, beryoga di atas batu karang. “Saya sempat membaca kisah itu dari buku,” tunjuk Mangku Repot. Kakawin Anyang Nirartha yang merekam kisah perjalanan dan perenungan pendeta yang juga pencipta karya susastra kakawin di seputar kaki Pulau Bali ini memang sempat melukiskan jelas: Mpu Nirartha kerap samadi di bawah pohon sawo kecik, dekat pohon kalikum (kem). Sebagai tempat peristirahatan, maharsi ini memilih sebuah gua selebar 20 meter dengan kedalaman 10 meter, di belahan timur, di bawah pura. Setiap hendak menggelar samadi, sang pendeta biasanya mandi dengan air yang ditaburi bunga gadung dan pudak agar berbau wangi. “Sebagai bukti kehadiran Danghyang Nirartha ke tempat ini, sampai sekarang di mandala tengah Pura Geger masih tumbuh subur pohon sawo kecik. Adapun pohon kem ada di mandala utama,” papar Mangku Repot. Dalam sejumlah kakawin yang digubah di kawasan pantai selatan Bali, Mpu Nirartha memang begitu mendalam terpesona oleh keindahan pesisir Bali berpasir putih ini. Panorama alam berupa pohon sawo kecik, deburan ombak berbuih putih, kokokan ayam hutan, lekuk-liku kelokan teluk, onggokan batu karang berketinggian curam, hingga bongkahan-bongkahan daratan pulau-pulau alit kerap dibayangkan dan dimaknai sebagai ritus diri sang pendeta manakala melakukan pemujaan dengan samadi kehadapan Hyang Mahasuci. Purohita Kerajaan Gelgel ini memang kerap disebut-sebut berjalan menyusuri pesisir Bali, dari ujung barat ke selatan, sampai ke timur, dan juga utara. Dalam perjalanannya sang pendeta gemar menyinggahi pura. Beberapa di antaranya yang kini termasuk wilayah Kabupaten Badung, antara lain: Pura Uluwatu, Goa Gong, Batu Pageh, Bukit Payung, dan Goa Batu Matandal. Kemudian Pura Petitenget di Kuta, Pura Sada di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, serta Pura Pucak Tedung di Desa Sulangai, Kecamatan Petang. “Pura Geger tak pernah ada disebutkan secara eksplisit dalam berbagai sumber sebagai persinggahan Danghyang Nirartha. Palinggih stana Danghyang Nirartha juga tak ada khusus di Pura Geger,” urai Ketua Parisada Kabupaten Badung, Nyoman Sukada. Sesuai Purana Pura Ulun Suwi Jimbaran yang sempat dibaca Sukada, keberadaan Pura Geger justru bertalian erat dengan kisah perjalanan Dalem Petak Jingga, seorang petinggi yang hengkang dari Kerajaan Gelgel, Klungkung, sekitar tahun 1652 Isaka, ke Bali selatan. Pengungsian Dalem Petak Jingga yang diiringi ratusan pengikut tersebut dipicu oleh persengketaan dengan Ida Dalem Dimade yang menjadi Raja Gelgel saat itu. Sampai di tepian Pantai Geger ditemukan satu tempat suci dan di tempat inilah Petak Jingga beryoga. Dalam samadinya dia mendapat anugerah, kelak akan menjadi raja besar. Sepeninggal dari Geger, Dalem Petak Jingga melanjutkan lagi perjalanan ke arah selatan dan bertemu dengan alas jimbar (hutan sangat luas). Di hutan lebat inilah Dalem Petak Jingga serta pengiringnya berdiam. Lokasi ini kelak dikenal dengan nama Jimbaran. Tapi, siapa Dalem Petak Jingga? Teks Purana Pura Ulun Suwi tak ada mengungkap lebih benderang. Betapapun sumber-sumber ilmiah formal tak mudah dirunut, toh Pura Geger tetap diposisikan sebagai pura penting di pesisir selatan Bali. Semakin hari pura yang puncak upacara (piodalan)-nya jatuh pada Purnama Kenem panglong apisan (sehari setelah Purnama Kenem) ini tetap saja semakin dibanjiri pamedek. “Piodalan di Pura Geger ini,” tambah Jero Mangku Sania, “berlangsung tiga hari. Penanggung jawab utamanya adalah warga dua banjar adat, yakni Banjar Geger dan Sawangan.” Deretan bangunan suci yang ada tidak begitu banyak. Di sisi timur ada padmasana sebagai stana Hyang Mahatunggal, Hyang Widhi, lengkap dengan tatahan Badawangnala (simbolik api magma Bumi) dan belitan naga Anantabhoga (simbolik lapisan tanah) bersama Naga Basuki (simbolik lapisan air). Di selatan padmasana berdiri meru tumpang (tingkat) tiga sebagai bangunan suci pusat, stana Ida Batara Dalem Pamutih atau Ida Batara Dalem Segara. Sebelahnya lagi ada Gedong Pasadegan. Paling ujung selatan terdapat palinggih Tugu Penyarikan sebagai tempat menyembah Ida Dalem Gunung Raung yang oleh warga awam setempat diyakini sebagai pangabih (penjaga) Danghyang Nirartha. Pada sisi utara, di sebelah barat padmasana, juga ada meru tumpang tiga sebagai stana Sanak Dalem Satria. “Kehadiran meru tumpang tiga ini berkaitan erat dengan perjalanan salah seorang keluarga Raja Badung,” ungkap Mangku Sania. Berdasarkan cerita tetua yang sempat didengar Mangku Sania, dulu, konon ada seorang keluarga Raja Badung (kini Puri Satria, Denpasar) pernah bersalah di kerajaan. Merasa bersalah, orang ini lari meninggalkan kerajaan menuju Bali selatan hingga sampai di Pura Geger. Di Geger yang bersangkutan sembahyang, mohon agar diberikan keselamatan. Dia juga berjanji (masasangi) akan membangun palinggih. Setelah terhindar dari malapetaka, kaul itu pun ditebus dengan mendirikan meru tumpang tiga. “Tiap piodalan ada saja warga Puri Satria tangkil ke pura ini,” terang Sania. Di mandala tengah yang lapang, pohon sawo kecik tua nan rindang berdiri kukuh, mengepakkan daun-daunnya yang hijau. Tampak burung-burung bercengkerama tenang di sini. Di bawah pohon sawo kecik ini terdapat tugu, tempat memuja Ida Batara Ratu Gde Panataran Ped, Nusa Penida. Di Pura Geger, keindahan dan ketenangan itu terasa begitu sempurna, memang, di bawah buaian sinar rembulan purnama. Dari titik ketinggian ini, Nusa Dua, Jimbaran, hingga Kuta, bahkan Denpasar yang riuh dan pikuk oleh gemerlap lampu listrik dan bisnis pelancongan pun tampak dekat, nyata, nun di kerendahan sana—lalu mengusik, begitu kontras. Kerap Digedor Tengah MalamKapan waktu paling sibuk dan melelahkan bagi para pamangku Pura Geger? Ada dua jawaban. Pertama, ketika berlangsung piodalan, Purnama Kenem. Waktu itu, jan banggul Ida Batara Pura Geger ini jelas harus berlama-lama di tempat suci ini. Mereka mesti meladeni warga yang datang dari seantero jagat Bali yang hendak menghaturkan bakti. Kehadiran pamedek yang tak menentu—terkadang pagi-pagi, banyak pula tangkil malam hari menjadikan para pamangku harus siaga setiap saat. Apalagi semenjak dibuka langsung akses jalan ke pura, orang dari luar Nusa Dua bertambah banyak hadir. ”Kami kurang enak hati melihat orang yang sudah datang dari jauh, ternyata sampai di pura tak ada pamangku,” Nyoman Repot, Pamangku Pura Geger Dalem Pamutih, berdalih. Itu sebab, selama piodalan berlangsung antar-pamangku bergilir waktu bertugas. Satu lagi hari-hari pamangku Pura Geger harus siap-siap menanti dan begadang mengantarkan bakti umat adalah menjelang hajatan besar politik, seperti pemilu dan pemilihan kepala daerah. Tempat suci ini nyaris tak pernah sepi pengunjung. Ada saja yang datang, dari tokoh masyarakat, tokoh politik, petinggi daerah, hingga warga biasa. Kehadiran mereka juga tiada menentu. Sesuai pengalaman, Jero Mangku Made Sania, pangayah di Pura Geger, terkadang pagi sampai sore sepi. “Namun, begitu pulang, menjelang tengah malam ada yang datang mengedor-gedor pintu rumah, minta agar pamangku hadir ke pura,” tuturnya. Sebagai pamangku yang tugas pokoknya mengantarkan bakti umat, dia jelas tak hendak menolak. Langsung berangkat saat itu pula. “Saya tak berani memastikan maksud dan tujuan kehadiran pamedek dimaksud. Mungkin mereka memohon keselamatan agar yang akan dilaksanakan berjalan lancar.

No comments:

Post a Comment

Silahkan ketik komentar ANDA untuk feedback buat kami